Jumat, 28 Januari 2011

SURURIYYAH TERUS MELANDA MUSLIMIN INDONESIA

SURURIYYAH TERUS MELANDA
MUSLIMIN INDONESIA
(Penulis: Al-Ustadz Muhammad Umar As Sewed)
(Dimulai dengan Khutbatul Haajjah)
Alhamdulillah, ama ba’du
Ikhwani fiddin a’azakumullah,

Disini ada pertanyaan yang berkaitan dengan fitnah Sururiyyah. Dan berkaitan pula dengan tokoh-tokohnya dan orang-orangnya. Ditanyakan disini dari mulaiABU QATADAH (Da'i Al Sofwah Jakarta, red),ABU HAIDAR (As Sunnah, Bandung, red),YAZID JAWWAS (rekan Abdul Hakim Abdat, da'i Al Sofwah/Al Haramain, red),ABU NIDA' (At Turots, Jogjakarta red),
AUNUROFIQ GUFRON (Ma'had Al Furqan, Gresik, red), YUSUF BAI’SA (Ma'had Al Irsyad,
Tengaran, Salatiga, red),ABDURRAHMAN ABDUL KHOLIQ, AINUL HARITS, ARIFIN,
ABDUL HAKIM ABDAT (da'i Al Haramain/Al Sofwah), dan lain-lainnya. dan kemudian
ditanyakan pulaAL-SOFWA, AT TUROTS, AL IRSYAD, dan lain-lain.

Tentunya lebih tepat kalau saya jawab dari belakang dulu, dari organisasinya dulu, dan lebih bagus lagi kalau saya menerangkan pada antum tentang fikrohnya dulu, ya’ni fikroh Sururiyyah dulu . Ya’ni Sururiyyah berasal dari kata Surur atau dari namaMUHAMMAD SURUR NAYIF
ZAINAL ABIDIN. Muhammad Surur adalah seorang yang tadinya Ikhwanul Muslimin (IM),

kemudian dia keluar dari IM, dan kemudian mengaku Salafy. Orang yang sejenis Muhammad Surur ini banyak, sepertiABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ itupun dari IM kemudian keluar dan kemudian mensyiarkan dirinya sebagai Salafy. Atau mengaku Salafy.

Orang-orang jenis ini mereka keluar Ikhwanul Muslimin dari Harokah IM, atau partai politik IM atau keluar dari kelompok firqoh IM, dan menyatakan taubat dari IM, dan menyatakan taubat "saya keluar dan saya taubat" seperti juga Muhammad Quthub itu juga mengaku keluar dan kembali kepada Salaf , tetapi dalam perjalanan mereka yang katanya mau kembali kepada Salaf, ternyata masih memiliki fikroh Ikhwaniyyah. Fikrohnya Ikhwanul Muslimin atau prinsip cara berfikir Ikhwanul Muslimin. Yang tentunya kita harus tahu bahwasannya prinsip IM ini berarti atau prinsip Sururiyyah ini berari sama dengan prinsip IM sesungguhnya, hanya beda istilah saja.

Apa yang dikatakan oleh para IM juga diucapkan pula oleh Sururiyyin, hakikatnya. Dengan cara dan bentuk istilah yang berbeda tapi intinya sama maka. Kalau begitu sururiyyah sama dengan ikhwaniyah dan kita perlu menerangkan tentang Ikhwanul Muslimin itu sendiri. Ikhwanul Muslimin, prinsip bid’ah mereka yang menjadikan mereka menjadi kelompok sempalan yang keluar dari Ahlus Sunnah adalah karena mereka memiliki prinsip“NATA’AWAN FIMA

TAFAKNA WA NA’DZIRU BA’DINA BA’DON FI MAKHTALAFNA”kata mereka "kita saling kerjasama apa yang kita sepakati dan kita hormat-menghormati saling memaklumi apa yang kita berbeda".

Ini prinsipnya IM, saya ulangi Nata’awan fima tafakna, "Kita saling kerja sama saling bantu membantu dalam apa yang kita sama, kita sepakati dan kita memaklumi hormat menghormati, dengan apa yang kita berbeda". Dengan prinsip ini IM tidak menganggap ada ahlil bid’ah sama sekali, semuanya kawan tidak ada lawan. "Ahlil bid’ah mereka sama-sama sholat dengan kita, maka kita tolong menolong dalam apa yang kita sepakati, mereka sama-sama…" pokoknya apa yang kita sama kita kerja sama, ini IM. SehinggaHASAN AL-BANNA, AT-TUROBI, dan sekian banyak tokoh-tokoh mereka selalu berusaha menggabungkan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan mereka mengatakan yel-yel Laa Syarqiyyah, Laa Gharbiyyah, Laa Sunniy, wa Laa Syi’ah, Islamiyyah, Islamiyyah, itu yel-yel yang selalu mereka dengungkan anasid dengan sair, dengan nyanyi dengan ikrar, "Tidak timur tidak barat tidak Sunni tidak Syi’ah yang penting Islam" kata mereka ini prinsip mereka kemudian ditebarkan pada masyarakat. "Kalian jangan ribut terus sudahlah jangan saling menyalah-nyalahkan, semuanya apakah dia Salaf apakah dia Sufi, apakah dia Mu’tazili, Syiah, semua itu saudara, semua Muslimin. Apa yang kita sama kita tolong menolong dan apa yang kita beda, kita hormat-menghormati", katanya begitu .Ini sepintas kilas perkaranya agak masuk akal, "Iya ya, kalau nggak gini gak akan bersatu", sepintas kilas kalau kalau dipikir akal saja.

Padahal kata para ulama prinsip ini akan meruntuhkan agama secara keseluruhan dan prinsip ini menggugurkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. [ketika kamu] mau mengingkari kebid’ahan, [mereka katakan: ] “ ...jangan ya akhi kita harus saling menghormati, kita jangan menyalahkan mereka", begitu, sehingga tidak ada amar ma’ruf nahi munkar. Dan berarti membolehkan manusia berjalan di jalan bid’ah manapun, ini sudah jelas sesatnya. Sehingga di dalam Ikhwanul Muslimin Jangan kamu kira mereka sama statusnya, fikirannya, aqidahnya.

Di kalangan IM ada Sufi, Syi’ah,ada semua ahli bid’ah kecuali Salafy. Kenapa? Yang (katanya) Salafy dalam masalah Aqidahnyapun prinsipnya tetap prinsip ikhwan. PRINSIP AQIDAHNYA YANG KATANYA SALAFY, TETAPI TETAP MENGHORMATI AHLUL BID’AH. DAN TERNYATA INI ADALAH YANG NAMANYA SURURIYYIN. Dalam AQIDAH KATANYA MEMPELAJARI AQIDAH SALAF, KATANYA, TETAPI PRINSIPNYA SAMA, SESAMA AHLUL BID’AHPUN HARUS SALING MENGHORMATI DAN SEBAGAINYA. INI PRINSIP UTAMANYA.

Namun sekarang ketika orang-orang yang dulunya keluar dari IM tadi apakah Muhammad Surur apakah Abdurrahman Abdul Kholiq apaMUHAMMAD QUTHB dan menyatakan "IM itu salah, IM itu sesat kami kembali kepada salaf", ternyata mereka mengajarkan aqidah Salaf, mengajarkan aqidah salaf sehingga sama dengan Salafiyin, tetapi mereka tetap mengatakan bahwa Ahlul bid’ah juga punya kebaikan, jadi jangan dimusuhi 100 persen, mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja. Nah ini lihat, kalimat "mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja" itu sesungguhnya terjemahan dari apa yang dikatakan Ikhwanul Muslimin, yaitu saling hormat-menghormati, inilah yang akhirnya menjadi masalah. Akhirnya segala macam orang-orang yang keluar dari IM yang dielu-elukan taubat masya Allah, sebagai seorang Salafy sekarang. Ternyata warnanya kok lama kelamaan agak berbeda kok aneh, kok agak beda, ketika tambah jauh, tambah kelihatan berpisahnya antara para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah Salafiyun dengan tokoh-tokoh mereka. Agak berbeda, terus begitu, kemudian dalam masalah sikap pemerintah juga berbeda, dalam masalah politik juga berbeda, mereka sama seperti IM.

Sekali lagi sama, Cuma istilah-istilahnya yang berbeda. Mereka mengatakan pentingnya Tsaqofah Islamiyyah, ini Ikhwanul Muslimin. Tsaqofah Islamiyah adalah wawasan.kata Ikhwanul Muslimin "Kita jangan terpaku dengan Quran Sunnah saja, tetapi tidak mengerti situasi dan kondisi politik yang ada, kita harus ikut menyaksikan kondisi politik sepaya kita bisa bersikap supaya kita bisa berjuang dengan jihad politik", katanya. Itu IM, terang-terangan mengatakan jihad politik. Makanya banyak istilah-istilah yang dipakai oleh para politikus sekarang ini, ada jihad politik, ada apa segala macem itu, itu karena diantaranya mereka banyak terbawa dengan tokoh-tokoh IM di dalam partai Keadilan dan sejenisnya. Kemudian mereka yang telah keluar dari IM, ternyata fikroh-fikroh itu masih ada, tetapi istilahnya agak ganti dengan bahasa Fiqhul Waqi’.SALMAN AUDAH, A’iDH AL QORNI, kemudian siapa lagi … Muhammad Surur dan sebagainya semuanya mengelu-elukan “Jangan kita selalu kitab-sunnah,kitab sunnah tetapi tidak memperhatikan lingkungan kita, lingkungan situasi-kondisi kita tidak tahu, kita harus tahu, kita harus belajar satu ilmu namanya Fiqhul Waqi’, memahami kenyataan yang terjadi". Sama toh dengan yang tadi? Kalau tadi dengan istilah Tsaqofah, sekarang dengan istilah fiqhul waqi. Abdurrahman Abdul Khaliq ketika Fiqhul Waqi’nya dibahas oleh para Ulama, lain lagi dia istilahnya bukan Fiqhul Waqi’, tetapi setali tiga uang, persis.

Kata Abdurrahman Abdul Kholiq, "Kita dalam memahami, dalam berda’wah ini selain ini, kita harus punya Shifatul ‘Asr". Ini istilahnya Abdurrahman Abdul Kholiq. Apa Shifatul ‘Ashr?, Al Ashriyah dengan gaya bahasa dia bilang "Ashriye, kita harus tahu Al Ashriye", yakni "keadaan kondisi situasi politik yang ada", begitu, sama ternyata. Dan ingat bukan berarti Ahlussunnah wal jamaah dan para Ulamanya menentang perlunya Fiqhul Waqi’ atau Tsaqofah atau shifatul Ashr bukan menolak perlunya. Perlu tetapi itu berada di bawah, di bawah dan di bawahnya dan hukumnya fardlu kifayah. Bukan harus apalagi wajib apalagi diutamakan diatas ilmu-ilmu lain.

SIKAP A’IMMAH AHLUS SUNNAH TERHADAP PARA PENDUSTA AGAMA

Menyoroti Kiprah Dakwah Ihya’ At-Turots dkk di Indonesia – Update 22/02/2007
115
BAB IV
SIKAP A’IMMAH AHLUS SUNNAH
TERHADAP PARA PENDUSTA AGAMA
Ibnul JauziRahimahullah berkata :

“Termasuk kesalahan ucapan ahli zuhud –ketika mendengar celaan terhadap para pendusta- yaitu : “Ini adalah ghibah”. Sesungguhnya perkara ini adalah nasehat untuk Islam, karena khabar atau hadits terkadang mengandung kejujuran dan kadang berisi kedustaan, maka keadaan para perawi harus benar-benar diperhatikan”.
Yahya bin Sa’idRahimahullah berkata :

“Aku bertanya kepada Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah dan Sufyan bin Uyainah tentang seseorang yang berdusta atau bingung dalam periwayatan haditsnya, apakah saya menerangkan keadaannya?” Mereka mengatakan :”Ya…terangkan keadaannya kepada kaum Muslimin”.
Syu’bahRahimahullah berkata :
“Kemarilah kalian, kita mengghibah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla”.

Ditanyakan kepada Beliau tentang menahan diri (untuk tidak membicarakan) Aban (nama seorang perawi-pen), maka Beliau menjawab:” Tidak halal menahan diri untuk membicarakannya karena ini adalah perkara agama”.
Ibnu MahdiRahimahullah berkata :

“Aku berjalan bersama Sufyan Ats-Tsauri melewati seseorang, Sufyan mengatakan: “Pendusta. Demi Allah karena dialah tidak dihalalkan diam bagiku, andai saja tidak demikian pastilah aku akan diam”.
Imam Asy-Syafi’iRahimahullah berkata :

“Jika seseorang diketahui ucapannya adalah dusta, maka tidak diperkenankan diam darinya dan itu bukanlah termasuk ghibah, sebagaimana para ulama ahli naqd tidak memberikan peluang kepada seorang perawi yang dijarh agamanya dalam rangka menerangkan kepalsuan yang ada atau selainnya”(Al-Maudhu’at, hal.50).
Saya (Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-MadkhaliHafidhahullah) mengatakan :

“Ini adalah alasan yang benar. Barangsiapa telah menempuh jalan mereka dalam melayani dan membela sunnah tatkala memuji orang yang berhak dipuji dan mencela orang yang berhak dicela, melawan, mempermalukan, mengungkap aurat serta membantah kebathilan ahli bid’ah dengan kebenaran dan ilmu, maka dia termasuk golongan mereka (para ulama-pen).

Dan barangsiapa menyelisihi para ulama dalam manhaj ini atau bahkan memusuhi serta melawan orang-orang yang mengikuti mereka kemudian loyal kepada orang-orang yang menyimpang, sesat, ahli bid’ah dan penipu, serta membela mereka mati-matian lagi bermain-main dengan akal orang-orang jahil dari kalangan manusia rendahan, mereka membingungkan umat dengan kedustaan, kepalsuan, tipuan dan kemaksiatan, sesungguhnya orang yang demikian keadaannya bukanlah dari golongan ahli sunnah dan pengikutnya”
(Al-Mahajjatu Al-Baidha’, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-MadkhaliHafidhahullah, diterjemahkan
dengan judul Obyektifitas dalam Mengkritik, Cahaya Tauhid Press, Malang, hal.137-139)

Ini adalah petir hujjah Ahlus Sunnah terhadap para penyesat, penyimpang dan pendusta!! Maka sungguh suatu upaya penyesatan dan talbis dari golongan Hizbiyyin-Sururiyyin- Ikhwaniyyin-Surkatiyyin ketika menyelewengkan ceramah Syaikh Rabi’Hafidhahullah sebagai legalitas untuk menuntut Ahlus Sunnah berbuat “rifqan” dan “mawaddah” terhadap kesesatan Hizbiyyin dan petinggi-petingginya dengan berbagai manuver Hizbiyyah-Ikhwaniyyahnya!!

NASEHAT DAN PERINGATAN MASYAYIKH SALAFIYYIN

Menyoroti Kiprah Dakwah Ihya’ At-Turots dkk di Indonesia – Update 22/02/2007
116

BAB V
NASEHAT DAN PERINGATAN
MASYAYIKH SALAFIYYIN
Pertanyaan kepada Fadhilatusy-Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
(Anggota Ha’iah Kibar Ulama dan Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ Saudi Arabia):

“Baiklah wahai Syaikh, apakah engkau mentahdzir (memperingatkan kepada umat Islam atas bahaya pemikiran seseorang atau kelompok-pen) mereka tanpa menyebutkan kebaikan- kebaikan mereka? Atau menyebutkan kebaikan sekaligus menerangkan kejelekannya?”
Jawab :
“Jika engkau sebutkan kebaikan mereka, jangan…..jangan…., jangan kamu sebutkan,
sebutkan saja kesalahan yang ada pada mereka. KarenaBUKAN MENJADI

KEWAJIBANMU MEMPELAJARI SELURUH KEADAAN MEREKA. YANG WAJIB ATAS ENGKAU IALAH MENERANGKAN KESALAHAN YANG ADA PADA MEREKA AGAR MEREKA MAU BERTAUBAT DARI KESALAHAN. JUGA DEMI MEMPERINGATKAN ORANG LAIN DARI KESALAHAN YANG MEREKA TERJATUH DI DALAMNYA.A dap un

jika kamu menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, maka mereka akan mengatakan :”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, inilah yang kami harapkan…” (dari kaset rekaman sesi ketiga pelajaran Kitab At-Tauhid yang disampaikan oleh Syaikh di musim panas tahun 1413H di Thaif dalam kitab Al-Mahajjatu Al-Baidha’ karya Syaikh Rabi’ bin Hadi Al- MadkhaliHafidhahullah)
Pertanyaan kepada Fadhilatusy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad Al-Abbad
Al-BadrHafidhahullah:

“Apakah termasuk dari manhaj Salaf, jika saya mengkritik ahli bid’ah untuk memperingatkan umat dari kesesatannya, kemudian wajib bagi saya untuk menyebutkan kebaikan- kebaikannya agar saya tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang mendzaliminya?
Beliau menjawab :

“Tidak…….tidak wajib. Ketika engkau memperingatkan umat dari perbuatan bid’ah seseorang, maka sebutkanlah kebid’ahan orang tersebut dan peringatkan kaum Muslimin darinya, inilah yang dituntut. Tidak mesti mengumpulkan kebaikannya lalu kamu sebutkan. Cukup bagimu menyebutkan kebid’ahannya saja dan memperingatkan umat darinya agar mereka tidak tertipu dengannya”(ibid).
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iyRahimahullah :
Para Hizbiyyun ini (Sururiyyun) menggunakan tazkiyah untuk menipu (umat) manusia”
Ketika saya (Ust. Muhammad As-Sewed-pen) bertanya tentang Al-Muntada (berganti nama
menjadi Al-Sofwah) maka Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-MadkhaliHafidhahullah menjawab:

“KALAU MEMANG YAYASAN TERSEBUT SAMA DENGAN AL-MUNTADA YANG BERADA DI LONDON, MAKA LIHAT SAJA, IA AKAN MENJADI MUSUH PALING UTAMA DAKWAH SALAFIYYAH DI INDONESIA!”
Syaikh Abu Yasir Khalid Ar-RaddadiHafidhahullah (Muhaqqiq Kitab Syarhus Sunnah Al-
Imam Al-BarbahariRahimahullah) :
“…Dan diantaranya saya menjelaskan tentang kerusakan-kerusakan At-Turots dan manhaj
Al-Jama’ah organisasinya dan yang lainnya…”

“…dan orang-orang Ihya’ut Turots menghadirkan seorang lelaki lain yang bermadzhab rafidhah yang mencela dan menghina Shahabat. Dan banyak dalil-dalil yang lain yang menunjukkan bahwa lembaga ini adalah lembaga Hizbiyyah yang membantu dan menolong Hizbiyyun”
Demikianlah, ketika bukti-bukti kejahatan Hizbiyyahnya tidak bisa ditutupi dan dimanipulasi lagi,
maka kedustaanlah yang menjadi manhaj dakwahnya!! (Naudzubillah)

Dedengkot Hizby tlah beraksi
Ranjau dusta (Abdurrahman) At-Tamimi meledak di markaz Al-Albani
Serdadu hizby “salahfee” tlah bergerak melindungi
Wisma Erni menjadi saksi
Akankah Salafy berdiam diri ?
Hanya mematung …membatu ….dan membisu ?
Duduk manis menyaksikan semua kolaborasi dan konspirasi Hizbiyyah ini?
Tidak!!! Itulah jawaban yang pasti.

Witir (Ganjil)

Dulu saya sering mendengar penyampai mengumandangkan dalil; Innallaha witr yuhibbu witr – Sesungguhnya Allah itu ganjil dan senang dengan yang ganjil (Rowahu Bukhori, Muslim dan Ibnu Khuzaimah di dalam Shahihnya dari Abu Huroiroh), untuk mendasari mengucap salam lebih dari 1 kali dan menjadikannya 3 kali. Sekarang rasanya jarang mendengar dalil itu lagi. Sudah terbiasa atau emang jarang digunakan lagi. Memang dalam kehidupan ini hampir semua hitungan yang dijadikan sebagai aturan jumlahnya ganjil. Contohnya jumlah rekaat sholat sehari - semalam 17 rekaat, tarawih 11 rekaat, hitungan wudhu yang paling disenangi/sempurna juga 3 kali – 3 kali, mau istinja jumlah batunya juga ganjil, 3, 5, dst. Sampai kita kenal angka 313, sebutan 7 langit dan malam ganjil untuk mencari pahala lailatul qodar. Itu mungkin deskripsi witir dalam kehidupan nyata ini. Lupakan itu semua, yang ingin saya ketengahkan kali ini adalah masalah sholat witir. Ada apa dengannya?

Sebenarnya tak ada apa – apa, saya hanya penasaran, kenapa sih saya tidak bisa melakukan sholat witir? Kenapa hanya di bulan puasa saja tertib witirnya? Di bulan yang lain kok tidak tertib? Dan saya sudah berusaha 3 tahun terakhir ini untuk bisa menjalankan salah satu sunnah tersebut. Hasilnya masih juga bolong – bolong. Berbagai kiat dan giat sudah dilakukan, akhirnya saya menjatuhkan pilihan melakukan sholat witir sebelum tidur. Itu yang saya mampu. Itu yang saya bisa. Mungkin kadang terlihat aneh, sore – sore kok witir. Habis mau bangun malam kadang kebablasan. Sejujurnya bukan kadang – tetapi banyak bablasnya ketimbang bangunnya sehingga gak witir. Niat sih ada terus, tapi apakah hidup ini cukup dengan niat saja? He, he, he,,,,lha da lah,,,,,,…

Dulu Pak ustad di kampung saya memberikan wejangan - tip yang sederhana dan ciamik. Dia bilang, “Untuk melatih sholat witir, tambahkanlah sehabis sholat sunnah ba’da isya 1 rekaat saja.” Maka dulu kami pun ramai – ramai mengerjakannya sehabis sholat sunah ba’da isya. Sekian waktu berlalu dan semakin meluntur kegiatan itu, saya terpacu lagi untuk memulainya - sebagai bagian taqorrub ilallah dari hamba yang lemah ini. Semoga tidak terlambat.

Ya, ini memang sunah bukan wajib. Bahkan mungkin ada yang mencibirnya. Namun bagi saya adalah sebuah jalan besar menuju kecintaan kepada Allah. Di samping jalan lain yang mungkin orang tempuh. Sebab banyak jalan menuju keridhoan Allah, bukan hanya ke Roma saja.

Nah, bagi yang mau menempuh jalan sholat witir untuk mempertinggi derajat amalannya berikut beberapa dalil tentangnya.

Dari Ali ra., ia berkata, ‘Witir bukan keharusan seperti sholat wajib kalian, akan tetapi Rasulullah SAW biasa melakukannya, dan Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah witir, mencintai witir, maka lakukanlah sholat witir wahai ahli qur’an.” (Rowahu Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah)

Dari Jabir ra., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa khawatir tidak bangun di akhir malam, maka hendaknya dia berwitir di awalnya, dan barangsiapa yakin akan bangun di akhir malam, maka hendaknya dia berwitir di akhirnya, karena sholat diakhir malam disaksikan dan dihadiri (oleh malaikat) dan itu lebih utama.” (Rowahu Muslim).

Dari Jabir ra., dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai ahli qur’an, berwitirlah kalian karena Allah adalah witir dan menyukai witir.” (Rowahu Abu Dawud).

Dari Abu Tamim al-Jaisyani, dia berkata, aku mendengar Amru bin al-Ash berkata, seorang lelaki memberitahukan kepadaku bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menambahkan satu sholat kepada kalian, maka tegakkanlah ia diantara isya dan shubuh, yaitu sholat witir”. (Rowahu Ahmad)

Dari Abu Huroiroh r.a, dia berkata, ”Kekasihku SAW mewasiatkan kepadaku tiga perkara, agar aku berpuasa tiga hari setiap bulan, melaksanakan sholat dhuha 2 rekaat dan melaksanakan sholat witir sebelum tidur.”[Rowahu Al-Bukhory (Kitaabu al-Jumu’ati), Muslim ( Kitaabu Sholaati al-Mufaasiriina wa qoshrohaa), Abu Dawud (Kitaabu As-Sholaah), at-Tirmidzi (Kitaabu as-Shoumi) dan an-Nasa’i (Kitaabu as-Shiyaami)].

Dari Abu Darda’, dia berkata, “Kekasihku SAW mewasiatkan tiga perkara kepadaku, aku tidak akan meninggalkannya selama aku hidup; yaitu puasa tiga hari setiap bulan, sholat dhuha dan agar aku tidak tidur sebelum sholat witir.” (R. Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).

Jadi, sekarang bukan hanya salam saja yang kita jangkepi witir. Sholat sunnah kita pun rasanya perlu juga diperjuangkan. Setidaknya dengan tip di atas. Sholat witir sehabis isya atau sebelum tidur. Silahkan dicoba. Kenapa tidak?

Oleh:Ustadz.Faizunal Abdillah

Senyum Dan Diam

Sebentar lagi, usia sudah mendekati kepala empat. Anak pun sudah empat. Berumah tangga sudah empat kuadrat alias 16 tahun. Banyak hal dan banyak pencapaian yang sudah saya dapatkan dalam kurun waktu itu. Dengan rasa syukur yang mendalam, kiranya inilah karunia terindah yang dianugerahkan Allah kepada saya. Tak berbanding dan tak tertandingi. Alhamdulillah, tak ada yang pantas terucap kecuali pujian itu. Tinggal bagaimana mengelolanya sehingga nikmat itu menjadi berkembang dan berdaya guna keberadaannya. Tidak hilang, tidak rusak, namun justru mengembang, berbuah, berbarokah. Netepi dalil lain syakartum – la’azidannakum.
Maka tatkala, saya ketemu dengan para yunior yang sekarang punya kedudukan dan posisi kunci, dengan kehidupan yang mapan, godaan mulai berdatangan. Obrolan pun berkembang pada arti hidup. Masih banyak orang yang mengukur pencapaian hidup dengan sebuah kedudukan. Makin tinggi kedudukan berarti semakin sukses. Semakin bermartabat, semakin berkelas. Mereka sering berkata, “Wah, seharusnya Mas ini sudah jadi manager. Apalagi usia sudah hampir kepala empat.” Menanggapi hal itu saya hanya tersenyum dan diam saja.

Lain lagi, godaan yang datang ketika saya ketemu dengan para senior. Secara tidak sengaja bincang – bincang pun mengarah pada ukuran kesuksesan hidup. Lain dengan para yunior yang masih banyak berlagak, para senior ini lebih bermutu, biasanya mereka bicara kesuksesan dari berbagai pandangan. Sebagian ada yang meneropong dari jenjang pendidikan. Secara tak sengaja mereka berseloroh, “Sudah rampung belum S3-nya?” Dengan polos dan lugunya, pernyataan itu saya balas dengan senyum dan diam saja.

Sebagian lagi ada yang memandang kesuksesan dari kaca mata kemandirian dan pemberdayaan. Mereka bilang, “Sekarang sudah usaha apa? Dan berapa orang pekerjanya?” Mendengar ucapan itu, saya pun tak kuasa, hanya tersenyum dan diam saja. Sebagain lainnya ada yang memandang kesuksesan hidup ini dari tingkat spiritualitasnya. Dengan enteng dan bangganya mereka berkata, “Sudah pergi ke Kulon belum?” Mendengar kalimat itu, saya pun hanya bisa tersenyum dan diam saja.

Lain lagi jika saya ketemu dengan para ustadz. Ketika mereka berbincang tentang al-ilmu, saya pun terdiam. Tatkala mereka bertanya, “Sudah sampai mana pencapaianmu?” Saya pun tersenyum menanggapinya. Banyak hal yang saya respon dengan senyum dan diam semata. Bukan karena mengiyakan atau menolak. Bukan pula membantah atau mendebat. Justru dengan tersenyum dan diam itulah, saya bisa melihat wajah nyata kehidupan dengan apa adanya. Semakin menenteramkan hati. Mempraktekkan panjangnya diam. Menerampilkan sodakoh senyuman. Dan menambah kedalaman syukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada saya.

Ternyata dengan banyak senyum dan diam, semakin terkuak rahasia – rahasia hidup ini. Maksud – maksud yang tak terungkap, terkadang bisa tertangkap dengan sikap diam ini. Orang yang mau pamer, orang yang pengin dihormati, orang yang berniat baik, orang yang mau berbuat tidak baik, semua terekam dalam diam - sunyi dan senyum ini.

Pun halnya dengan diri sendiri. Dengan senyum dan diam, ternyata mampu mengobsesi diri menjadi lebih baik dan baik. Punya kekuatan dahsyat untuk berbuat baik untuk sesama dan sekitarnya. Memperbaiki diri dan terus berusaha baik selalu. Begitu elok ketika jiwa dan raga menyatu dalam kesatuan nuansa diam dan tersenyum ini. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (Rowahu Bukhory (5672), Muslim dalam bab al-Luqothoh (14), Abu Dawud (91), An-Nasa’i (401) At-Tirmidzi (809)). Dan firman Allah:”Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” An-Nisaa : 114.

Maka, saya pun malu sejatinya, jika harus menjawab setiap pertanyaan itu semua - apalagi dengan maksud mengimbangi lawan bicara. Sebab bagi saya firman Allah dalam Surat Ali Imron 139 sudah mencukupinya. Allah berfirman, “Janganlah kamu merasa hina, dan janganlah kamu bersedih hati, sejatinya kamulah orang-orang yang paling mulia, jika kamu menjadi orang-orang yang beriman.” Apalagi yang mau dicari?

Tatkala kita sudah merasa berada di puncak, kemudian sekeliling kita ramai menawarkan dan membicarakan hal – hal yang banyak, berteriak, adakalanya baik dan kebanyakan angin lalu semata, tak lain sikap yang relevan adalah memberinya senyum dan diam saja. Sebab kalau direspon tak bakal cukup waktu. Tak bakal rampung urusannya. Termasuk ketika ada yang bertanya, “Sekarang istrinya sudah berapa?” Saya pun menoleh, menatap sang penanya, kemudian tersenyum dan diam saja.

Surat pernyataan syahnya LDII dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia sebagai salah satu Ormas Islam di Indonesia.

Rabu, 12 Januari 2011

Pengertian Manqul, Musnad, Mutashil dan Ro'yi


Sesuai dengan judul di atas dalam PEMAPARAN dibawah ini akan dipaparkan pokok-pokok perbahasan yang meliputi:-
1) Pengartian Manqul, Musnad, Muttashil dan Ro’yi
2) Wajibnya Manqul dan Haramnya Ro’yi
3) Utamanya/tinggi Ilmu Manqul, Musnad, Muttashil

1. PENGARTIAN MANQUL, MUSNAD, MUTTASHIL DAN RO’YI
1.1 MANQUL
Manqul itu bahasa arab berasal dari kata Naqola. Manqul secara harfiyah artinya yang dipindahkan. Adapun arti menurut agama Islam adalah belajar mengaji Quran dan Hadis dengan cara berguru atau ilmu Quran dan Hadis yang dimiliki oleh seseorang itu diperoleh melalui proses pemindahan ilmu dari guru ke murid. Adapun sistem manqul
ada beberapa macam cara antara lain:-
a) Guru yang membacakan ilmu, murid mendengarkan.
b) Guru sedang mengajar ilmu kepada muridnya kemudian ada orang lain mendengarkannya.
c) Dengan sistem munawalah yaitu guru memberi hak/persetujuan kepada muridnya yang dipandang sudah menguasai ilmu manqul untuk mengerjakan dan mengajarkan ilmu tersebut atau guru berkirim surat yang berisi Al Quran dan atau Hadis kepada muridnya tentang suatu masalah lalu murid membaca dan melaksanakannya.

1.2 MUSNAD
Musnad artinya ilmu yang diberikan itu mempunyai sanad/isnad yang sahih, hasan, dll. Sanad/isnad (berasal dari kata asnada) artinya sandaran, tempat bersandar. Maksudnya mengajarkan (membaca, memberi makna dan menerangkan) Al Quran dan Hadis dengan sandaran guru yang mengajarkan kepadanya, gurunya dari gurunya lagi dan seterusnya. dengan metode demikian maka akan terlihat mana2 riwayat tingkatan keotentikan suatu hadits, seperti: sahih, hasan, dhoif dll.

1.3 MUTTASHIL
Muttashil artinya bahwa masing-masing sanad/isnad itu bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Jadi manqul-musnad-muttashil artinya mengkaji Al Quran dan Hadis secara langsung seorang atau beberapa orang murid yang menerima dari seorang atau beberapa gurunya tersebut asalnya menerima langsung dari gurunya dan gurunya menerima dari gurunya lagi, sambung bersambung begitu seterusnya tanpa terputus sampai kepada penghimpun Hadis separti Bukhari, Muslim, Nasai, Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah dll yang telah menulis isnad-isnad mereka mulai dari beliau-beliau (penghimpun Hadis) sampai kepada Rosululloh SAW. Rosululloh bersambung sehingga Jibril dan Jibril daripada Alloh.

1.4 RO’YI
Ro’yi berasal dari kata ro’aa artinya pandangan, pengelihatan, pendapat, maksudnya adalah belajar atau mengkaji Al Quran dan Hadis sendiri tanpa guru, tidak memiliki isnad muttashil atau berguru dari guru yang tidak berisnad atau membaca buku-buku/ kitab-kitab sendiri kerana merasa bisa menafsir bahasa arab sendiri, di faham-fahami sendiri, di angan-angankan sendiri. Sehingga pengamalannya hanya berdasarkan sangkaan belaka/hawa nafsu.

2. WAJIBNYA MANQUL DAN HARAMNYA RO’YI
Menurut aslinya mengkaji atau mempelajari ilmu Al quran dan Hadis itu harus dengan metode manqul-musnad- muttashil dan muhlis kerana Alloh. Kerana penyampaian ilmu Al Quran dan Al Hadis dengan cara manqul, musnad, muttashil adalah cara yang dipraktikkan oleh Rsululloh SAW, para sahabat, para tabi’in dan ulama-ulama salafusssholihin.
Dari beberapa ayat Al Quran dan Hadis yang telah kita kaji bersama secara manqul kita telah mendapatkan keterangan-keterangan yang jelas bahwa Alloh menurunkan wahyu kepada Rosululloh SAW dengan sistem manqul yaitu dimanqulkan oleh Malaikat jibril secara teori dan praktikal. Misalnya ketika Rosululloh SAW menerima kemanqulan bacaan Al Quran diperingatkan untuk tidak tergesa-gesa menggerakkan lisan-lisannya mendahului Malaikat Jibril tetapi supaya memperhatikan dahulu setelah Malaikat Jibril selesai membacakan Al Quran, lalu Rosululloh SAW baru disuruh mengikuti bacaan tersebut.
Firman Alloh yang bermaksud: “Kamu jangan menggerakkan lisanmu (untuk mendahului Malaikat Jibril dalam membaca Al Quran) kerana tergesa-gesa dengannya. Sesungguhnya atas kami pengumpulan Al Quran dan bacaannya. Maka ketika selesai kami bacakan Al Quran itu maka ikutilah bacaannya kemudian sungguh ada pada kami keterangan Al Quran itu. (Al Qiyaamah 16-19)
Inilah bukti Rosululloh SAW menerima wahyu secara manqul. Contoh lagi ialah pada waktu Alloh menurunkan wahyu pertama kali yaitu surah Al-Alaq, Malaikat Jibril membacakan lafaz iqro, maka Rosululloh SAW juga menirukan lafaz iqro. Contoh lagi ialah pada waktu Alloh menurunkan wahyu tentang waktunya solat. Malaikat Jibril menunjukkan waktunya solat dengan cara mengajak solat bersama setiap waktu solat selama 2 hari berturut-turut yaitu hari pertama dikerjakan waktu awalnya solat dan hari kedua dikerjakan pada waktu akhirnya solat. Setelah itu Rosululloh SAW dan ummatnya disuruh mengerjakan solat pada waktu yang telah ditentukan antara awal dan akhirnya waktu solat.
Para sahabat dan para tabi’in juga menggunakan ilmu manqul. Sufyan bin Uyainah pernah bercerita : Zuhri (perawi hadis) pada suatu hari meriwayatkan sebuah hadis, maka aku berkata ” Ceritakan padaku tidak usah pakai isnad”. Imam Zuhri menjawab: “Apakah engkau bisa naik loteng tanpa naik tangga?”.
Imam Tsaury berkata: “Isnad itu senjata orang mukmin”
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Mencari isnad yang luhur itu sunnah orang dahulu kerana sesungguhnya teman-teman Abdullah itu berangkat dari Kufah menuju Madinah, mereka belajar dari Umar dan mendengarkan beliau”. Jadi orang dahulupun mencari ilmu pada orang yang berguru.
Ibnu Mubarak (perawi hadis) berkata di dalam mukadimmah Hadis Riwayat Muslim
“Dari Ahli Marwa berkata, saya mendengar Abdan bin Usman berkata, saya mendengar dari Abdullah bin Mubarak ia berkata “Isnad itu termasuk (bagian dari) agama dan seandainya tidak ada isnad maka orang akan berkata (masalah agama) sesuka hatinya”

Imam Hakim dan lain-lainnya meriwayatkan dari Mathor al Waroq mengenai firman Alloh:
“… datanglah kepadaku dengan kitab sebelum ini atau atsar/labet/isnad dari ilmu jika kamu sekelian orang-orang yang benar” (Surah Al-Ahqaaf :4)
Dia berkata: “Atsarotin adalah isnadul Hadis”
Muhammad bin As Syafie yang menyusun kitab Hadis Musnad Syafie beliau mempelajari kitab Hadis Muwatta’ yang disusun oleh Imam Malik. Beliau hafal di dalam kepala seluruh isi kitab Muwatta’ tersebut dan faham isinya. Mengingatkan wajibnya manqul maka Imam Abu Idris As Syafie memerlukan datang ke Madinah semata-mata untuk menemui Imam Malik dan mengesahkan ilmunya dengan cara manqul langsung, Imam As Syafie membaca kitab Muwatta’ secara hafalan dan Imam Malik diam mendengarkannya.
Di dalam Hadis Bukhari diriwayatkan : Jabir bin Abdillah merantau sejauh perjalanan satu bulan menemui Abdullah bin Unais hanya untuk mendapatkan satu Hadis Sahaja. Ini menunjukkan wajibnya manqul.
Mengkaji Al Quran dan Hadis dengan cara manqul, musnad, muttashil bukan sekadar methode/cara tetapi hukumnya “WAJIB”
“Kamu mendengarkan dan akan didengarkan dan orang yang telah mendengar dari kamu akan didengar pula.” (Riwayat Abu Daud)
“Dari sahabat Jundab ia berkata: Rosululloh SAW telah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan (menerangkan) kitab Alloh yang Maha Mulia dan Maha Agung dengan ro’yu/pendapatnya (secara tidak manqul), walaupun benar maka sungguh ia telah salah” (Riwayat Abu Daud). Sedangkan mengkaji Al Quran dan Hadis tanpa manqul atau Ro’yi dilarang dalam agama Islam dan diancam dimasukkan ke dalam neraka. Berarti hukumnya “HARAM” berdasarkan dalil
“Dari Ibnu Abbas r.a berkata bahwa Rosululloh SAW bersabda “Barang siapa membaca Al Quran tanpa ilmu (tidak sanad/isnad/manqul) maka hendaklah menempati tempat duduknya di Neraka” (Riwayat At Tirmizi)

3. TINGGINYA (KEUTAMAAN) ILMU MANQUL
Dengan demikian praktik dalam menetapi Al Quran Hadis secara jama’ah ini yang kita junjung tinggi ini berdasarkan dalil-dalil haq dalam Al Quran dan Hadis dan secara kenyataannya Alloh memberikan nilai yang tinggi di antaranya.

3.1 ILMU MANQUL MENGESAHKAN AMALAN
Dengan ilmu manqul amal ibadah seseorang menjadi sah, diterima oleh Alloh, diberi pahala oleh Alloh, dimasukkan syurga. Tetapi tanpa manqul atau ro’yi ibadah seseorang tidak sah, tidak diterima oleh Alloh, tidak mendapat pahala bahkan dimasukkan ke dalam Neraka berdasarkan dalil:
Firman Alloh yang bermaksud: “Dan janganlah kamu mengatakan/mengerjakan pada apa-apa yang tidak ada ilmu bagimu (sanad/isnad/ilmu manqul). Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati semuanya itu akan ditanya/diurus oleh Alloh (Surah Al Isra’:36)
“Dari sahabat Jundab ia berkata: Rosululloh SAW telah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan(menerangkan) kitab Alloh yang Maha Mulia dan Maha Agung dengan pendapatnya(secara tidak bersanad/isnad/ manqul), walaupun benar maka sungguh ia telah salah” (Riwayat Abu Daud)

Orang yang mangaji Al Quran dan Hadis dengan ro’yi (tidak manqul) sama halnya dengan orang yang menggunakan mata uang asli tetapi dengan cara yang tidak sah. Umpamanya uang itu hasil curian atau separti masuk rumah orang lain tanpa izin pemiliknya atau masuk rumah tidak melalui pintu atau merosakkan pintu.

3.2 ILMU MANQUL MENJAGA KEMURNIAN AGAMA
Kemurnian agama Islam dapat dijaga dengan cara manqul-musnad-muttashil kerana kita mengatakan, mengamalkan Al Quran dan Hadis ada sandarannya/sanadnya/silsilahnya yang sambung-bersambung sampai Rosululloh SAW tanpa berani menambah, mengurangi atau mencampur dengan pendapat sendiri, angan-angan sendiri, menafsirkan sendiri, otak-atik sendiri. Sehingga ilmu Al Quran dan Hadis tetap terjaga kemurniannya. Jika kita berani menambah, mengurangi atau mencampuri Al Quran dan Hadis di luar ilmu yang telah dikaji berdasarkan sanad periwayatan/ kemanqulannya diancam dimasukkan ke dalam Neraka.
Berdasarkan sabda Rosululloh SAW yang bermaksud: “Takutlah kamu pada Hadis dariku kecuali apa-apa yang kamu ketahui. Barang siapa yang dusta atasku dengan sengaja (hadis bukan dari Nabi dikatakan dari Nabi atau dari Nabi dikatakan bukan dari Nabi) maka hendaklah menempati tempat duduknya di Neraka dan barang siapa yang mengatakan tentang Al Quran dengan pendapatnya sendiri (bid’ah, taqlid, takhoyul, syirik, khurofat, dll) maka hendaklah menempati tempat duduknya di Neraka” (Riwayat at Tirmizi)
Terjaganya kemurnian agama Islam dengan cara manqul-musnad-muttashil jauh dari bid’ah, syirik, khurafat, tahyul dan lainnya dapat digambarkan sebagaimana air gunung yang jernih, bersih, sejuk dan terasa segar bagi sesiapa sahaja yang minum di tempat sumbernya (mata airnya). Jika ada orang yang ingin merasakan (minum) air itu jauh dari sumbernya/tempat mata iarnya maka harus melihat kepada saluran apa air datang ke situ.
Kalau saluran itu berupa sungai yang terbuka tidak terjaga maka automatik rasanya akan berubah bahkan bisa menjadi racun kerana banyak orang yang membuang kotoran, toksid, sisa rumah tangga, sisa industri, sampah ke sungai itu, sehingga sungai itu tercemar. Tetapi jika saluran air itu melalui pipa yang baik dan kuat serta terjaga rapi meskipun jauh dari sumbernya. Bahkan walaupun di dalam tandas-tandas sekalipun, air yang keluar daripada pipa akan tetap sama dengan di tempat-tempat lain sama ada di dalam kota atau di kampung-kampung, maka rasa air yang keluar dari paip akan sama segarnya dan sama bersihnya dengan air ditempat sumbernya.
Ilmu digambarkan air, sumber mata air menggambarkan asalnya ilmu yaitu dari Alloh dan Rosululloh SAW. Sedangkan paip yang baik dan kuat digambarkan sebagai isnadnya. Inilah gambarannya!

3.3 ILMU MANQUL MUDAH DIFAHAMI DALAM WAKTU YANG SINGKAT
Dengan sistem manqul ilmu Al Quran dan Hadis akan mudah untuk difahami dalam waktu yang relatif singkat, tidak berpusing-pusing/berbelit-belit sehingga kita segera dapat mengamalkannya dengan benar dan sah. Sebagaimana keterangan-keterangan yang kita terima dari para mubalik, bahwa syaikh Nurhassan Al Ubaidah pada waktu mengaji secara manqul di tanah Hijjaz Mekah Al Mukarramah-Madinah hanya memerlukan waktu 10 tahun sahaja. Alhamdulillah atas kuruniaan Alloh dalam waktu 10 tahun itu beliau dapat menerima kemanqulan Al Quran 30 juz bacaan, makna dan keterangan dengan ilmu alatnya, Qiro’atussab’a (21 macam bacaan) dan dapat menamatkan kitab-kitab hadis yang kesemuanya berjumlah 49 Kitab Hadis, semua itu dengan cara manqul dan beliau benar-benar faham terhadap Al Quran dan Hadis yang diterima secara manqul.
Setelah pulang dari Mekah, beliau terus amar makruf kepada sanak saudara, handai taulan, sahabat-sahabatnya, kenalannya dan siapa sahaja untuk diajak menetapi agama Islam yang haq berdasarkan Al Quran dan Hadis secara berjama’ah. Mereka ada yang bergabung dan ada yang menolak juga ada yang merintangi/menentang tetapi beliau tidak jatuh mental/takut, tetap bersemangat dalam amar makruf dengan bermacam-macam cara, di antaranya beliau selalu mengadakan pengajian khataman/asrama Al Quran dan Hadis secara manqul-musnad-muttashil dan tempat pengajiannya berpindah-pindah. Dalam waktu kurang lebih satu bulan setiap khataman/asrama bisa mengkhatamkan Al Quran 30juz bacaan, makna dan keterangan secara jelas, dan mudah difahami sehingga para peserta khataman pulang dari pengajian merasa puas, senang, gembira dan mantap.
Sampai sekarang kita terus menerus melaksanakan pengajian-pengajian Al Quran dan Hadis dengan sistem manqul-musnad-muttashil sehingga dalam waktu yang relatif singkat dapat memahami Al Quran dan Hadis dengan mudah. Separti pengajian khataman/asrama di pondok-pondok, daerah-daerah pada bulan Ramadhan atau waktu lainya dalam waktu kurang dari satu bulan Al Quran 30juz bacaan, makna, keterangan dapat dikhatamkan atau 12 Kitab himpunan Hadis Nabi dapat dikhatamkan dalam waktu kurang lebih satu bulan. Contoh lagi ialah pengajian Hadis-Hadis Besar separti Sahih Bukhari, Sunan Nasa’I, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmizi dan lainnya dalam waktu kurang lebih 15 hari satu juz dapat dikhatamkan.
Dengan cara manqul pengkajian dan pemahaman terhadap isi Al Quran dan Hadis jadi mudah, jelas, cepat dan tepat kerana ada yang menuntun dan membimbing secara langsung. Sebagai contoh mudah, jelas dan tepatnya dalam menerima Al Quran dan Hadis secara manqul digambarkan separti orang yang disuruh mengambil jarum. Orang yang menyuruh menjelaskan: “Ambilkan jarum, jarumnya berada di dalam almari pakaian yang ada di kamar tidur paling utara, kunci almari ada di atasnya, bukalah almari pakaian itu dan carilah jarum itu pada rak yang paling bawah di situ ada bungkusan kain warna hijau, jadi di situlah letaknya jarum”. Orang yang menerima perintah itu dengan sendirinya akan dengan mudah, cepat dan tepat untuk mengambil jarum yang dimaksudkan.
Sedangkan bagi orang yang tidak manqul digambarkan separti orang yang disuruh mengambil jarum dalam almari tersebut belum sampai dijelaskan/dimanquli dia langsung terus mencari sendiri padahal dalam rumah itu kamarnya banyak almari, pakainnya banyak dan dikunci, maka orang tersebut tidak bisa menemukan jarum yang dimaksudkan, seandainya bisa menemukan, itu hanya suatu kebetulan atau setelah bersusah payah membongkar/menyelongkar seluruh isi rumah.

3.4 ILMU MANQUL MEMPUNYAI KEHEBATAN, WIBAWA, GUNA, JAYA, MULIA
Alloh memberikan “Kehebatan, Wibawa, Guna, Jaya dan Mulia” kepada ilmu manqul. Hanya ilmu Al Quran dan Hadis yang diajar secara manqul-musnad-muttashil yang dapat menumbuhkan keimanan, ketakwaan, kejayaan, kemenangan dan kemuliaan (berupa Syurga).
Kita kembali kepada sejarah perjuangan lampau, Guru/Syaikh Nurhassan Al Ubaidah kita, dalam amar makruf menyampaikan agama Islam yang haq ini dengan berbagai macam cara di antaranya beliau pernah mendatangi atau mengumpulkan beberapa ulama diajak kepada kebenaran kerana yang mereka amalkan selama ini dilihat dari segi AlQoran & AlHadits tidak cocok/sesuai yang sebenarnya, kerana mereka tidak mahu, mereka diajak dialog, jika mereka dapat mengalahkan dengan dasar Al Quran dan Hadis beliau sanggup di perbuat apa sahaja.
Perdebatan yang pernah beliau hadiri salah satunya terjadi pada tahun 1952 bertempat di rumah Ketua Kampung. Perdebatan itu dihadiri oleh lebih kurang 35 orang guru pondok dan umat Islam lebih kurang 1,000 orang dari sekitar kampung. Masalah yang diperdebatkan di antaranya masalah beduk, kentongan, kenduri /doa selamat orang mati, usholi dsb ditinjau dari hukum Islam sebenarnya(ilmu manqul) bahkan mereka disuruh bertanya apa sahaja tentang Islam, semua pertanyaan mereka dijawab berdasarkan Al Quran dan Hadis. Dan mereka tidak dapat menyalahkan jawapan beliau. Hal itu menunjukkan sebahagian contoh bahwa Alloh memberikan “kehebatan, wibawa” dan “jaya”(kemenangan) pada ilmu manqul.

Dengan ilmu secara manqul-musnad-muttashil Alloh memberikan “guna” (manfaat). Dengan cara manqul-musnad-muttashil seseorang akan mempunyai keimanan yang kuat, kukuh, tidak mudah terpengaruh dan imannya separti akar pohon yang kuat dan rimbun daunnya, serta berbuah tanpa mengenal musim. Iman dan takwanya selalu nampak di mana sahaja dan dalam keadaan apa sahaja, separti telah digambarkan oleh Alloh dalam Surah Ibrohim: 24-25
“Apakah kamu belum tahu (Muhammad) bagaimana Alloh membuat gambaran kalimat yang baik(kalimat yang menunjukkan haq, kalimat tauhid, Al Quran), kalimat yang baik separti pohon yang baik, akarnya kuat, daunnya rimbun dan berbuah setiap musim dengan izin Tuhannya. Demikian Alloh membuat gambaran untuk manusia supaya mereka ingat” Sebaliknya orang yang mengkaji Al Quran dan Hadis dengan tidak manqul, musnad, muttashil, tidak dapat memberi “Guna”(manfaat). Meskipun ilmunya banyak, peribadinya tidak dapat mengamalkan, Alloh menggambarkan dalam Surah Ibrahim:26
“Dan gambaran kalimat yang jelek/buruk (kalimat yang batil, kalimat yang sesat) sebagaimana pohon yang tidak kuat, mudah tumbang dari atas bumi”
Kesimpulan
- Kita wajib bersyukur kepada Alloh yang telah memberi hidayah kepada kita semua, sehingga kita redha menerima Agama Islam secara murni, sistem pengambilan ilmu secara murni (manqul-musnad-muttashil) dan pengamalannya juga murni (tidak dicampuri dengan bid’ah Hassanah/dolala (kulu bid’ahtidolala), syirik, khurafat, tahyul, jin-jinan dan lainnya).
- Menurut aslinya mengkaji Al Quran dan Hadis itu harus dengan manqul-musnad-muttashil yaitu cara yang telah dipraktikkan oleh Rosululloh SAW, sahabat, para tabi’in dan ulama-ulama sholihin.
- Mengkaji Al Quran dan Hadis dengan cara manqul-musnad-muttashil hukumnya “WAJIB”, sedangkan dengan cara tanpa manqul/ro’yi dilarang dalam agama, hukumnya “HARAM”.
- Alloh memberikan ilmu manqul-musnad-muttashil adalah ilmu yang tinggi nilainya antaranya:
a. Mengesahkan pengamalan
b. Menjaga kemurnian keaslian Agama Islam
c. Mudah difahami dalam waktu yang relatif singkat
d. Memberikan “HEBAT, WIBAWA,GUNA(manfaat),JAYA” (kemenangan / kejayaan) “MULIA”(dunia akhirat)
e. Mengagungkan terhadap ilmu secara manqul adalah menganggap ilmu secara manqul merupakan ilmu yang paling tinggi (ilmu sejagad). Maka kita harus menganggap ilmu manqul adalah ilmu yang utama, tidak bisa dianggap remeh. Sesuai dengan sabda Rosululloh SAW yang bermaksud: “Barang siapa yang membaca dan memahamai Al Quran (secara Manqul) kemudian ia berpendapat bahwa ada seseorang yang diberi lebih utama daripada yang telah diberikan kepadanya. berarti dia mengagungkan apa-apa yang Allah meremehkan dan meremehkan apa-apa yang Alloh mengagungkan” (Riwayat Al Tabrani dari Tafsir Ibnu Katsir)
f. Mengingat utamanya ilmu secara manqul-musnad-muttashil maka ilmu tersebut harus kita jaga, pertahankan kemurniannya serta kita sebar-luaskan secara terus-menerus, sambung-bersambung, turun-temurun illa yaumil qiyamah.
Allohu’alam…
Mohon maaf bila terdapat kata2 yang tidak sesuai dan menyakiti dan menyinggung perasaan…
Semoga Alloh menyaksikannya sebagai amal ibadah disisiNya… amiiin…