Sabtu, 09 Juli 2011

Sejarah "Hitam" Kaum Wahabi

Oleh: MN Harisudin Sejarah NU adalah sejarah
perlawanan terhadap kaum
Wahabi. Seperti dituturkan KH
Abd. Muchith Muzadi, sang
Begawan NU dalam kuliah
Nahdlatulogi di Ma' had Aly Situbondo dua bulan yang
silam, jam'iyyah Nahdlatul
Ulama didirikan atas dasar
perlawanan terhadap dua
kutub ekstrem pemahaman
agama dalam Islam. Yaitu: kubu ekstrem kanan yang
diwakili kaum Wahabi di
Saudi Arabia dan ekstrem kiri
yang sekuler dan diwakili
oleh Kemal Attartuk di Turki,
saat itu. Tidak mengherankan jika kelahiran Nahdlatul
Ulama di tahun 1926 M
sejatinya merupakan simbol
perlawanan terhadap dua
kutub ekstrem tersebut. Hanya saja, kali ini, karena
keterbatasan space, saya akan
membatasi tulisan ini pada
bahasan kutub ekstrem yang
pertama, Wahabi. Pun bahwa
saya akan membatasi pembahasan Wahabi secara
khusus pada sejarah
kelamnya di masa lampau,
belum pada doktrin-doktrin,
tokoh-tokohnya atau juga
yang lainnya. Saya berharap bahwa fakta sejarah ini akan
dapat kita gunakan untuk
memprediksi kehidupan sosial
keagamaan kita di masa-masa
yang akan datang. Karena
bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi
saat itu merupakan goresan
noda hitam. Goresan noda
hitam inilah yang kini
mengubah wajah Islam yang
sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah
Islam yang semula ramah
menjadi penuh amarah. *** Sebagaimana dimaklumi,
kaum Wahabi adalah sebuah
sekte Islam yang kaku dan
keras serta menjadi pengikut
Muhammad Ibn Abdul Wahab.
Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah
pengikut Ahmad Ibn Hanbal.
Ibnu Abd Wahab sendiri lahir
pada tahun 1703 M/1115 H di
Uyainah, masuk daerah Najd
yang menjadi belahan Timur kerajaan Saudi Arabia
sekarang. Dalam perjalanan
sejarahnya, Abdul Wahab,
sang ayah harus
diberhentikan dari jabatan
hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726
M/1139 H karena ulah sang
anak yang aneh dan
membahayakan tersebut.
Kakak kandungnya, Sulaiman
bin Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang
lebar tentang pemikiran adik
kandungnya tersebut (as-
sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-
wahabiyah). (Abdurrahman
Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62) Pemikiran Wahabi yang keras
dan kaku ini dipicu oleh
pemahaman keagamaan yang
mengacu bunyi harfiah teks
al-Qur'an maupun al-Hadits. Ini
yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi,
menolak tahlil, maulid Nabi
Saw, barzanji, manaqib, dan
sebagainya. Pemahaman yang
literer ala Wahabi pada
akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di
luar Wahabi sebagai orang
kafir dan keluar dari Islam.
Dus, orang Wahabi merasa
dirinya sebagai orang yang
paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin
dan juga paling selamat.
Mereka lupa bahwa
keselamatan yang sejati tidak
ditunjukkan dengan klaim-
klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara
beragama yang ikhlas, tulus
dan tunduk sepenuhnya pada
Allah Swt. Namun, ironisnya pemahaman
keagamaan Wahabi ini
ditopang oleh kekuasaan Ibnu
Saud yang saat itu menjadi
penguasa Najd. Ibnu Saud
sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang
hanya memanfaatkan
dukungan Wahabi, demi
untuk meraih kepentingan
politiknya belaka. Ibnu Saud
misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu
Abdul Wahab agar tidak
mengganggu kebiasaannya
mengumpulkan upeti tahunan
dari penduduk Dir'iyyah.
Koalisipun dibangun secara permanen untuk meneguhkan
keduanya. Jika sebelum
bergabung dengan kekuasaan,
Ibnu Abdul Wahab telah
melakukan kekerasan dengan
membid'ahkan dan mengkafirkan orang di luar
mereka, maka ketika
kekuasaan Ibnu Saud
menopangnya, Ibnu Abdul
Wahab sontak melakukan
kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak
sepaham dengan mereka. Pada tahun 1746 M/1159 H,
koalisi Ibnu Abdul Wahab dan
Ibnu Saud memproklamirkan
jihad melawan siapapun yang
berbeda pemahaman tauhid
dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang
tidak sepaham dengan
tuduhan syirik, murtad dan
kafir. Setiap muslim yang
tidak sepaham dengan
mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh
dan bahkan wajib diperangi.
Sementara, predikat muslim
menurut Wahabi, hanya
merujuk secara eklusif pada
pengikut Wahabi, sebagaimana dijelaskan dalam
kitab Unwan al-Majd fi Tarikh
an-Najd. Tahun 1802 M /1217 H,
Wahabi menyerang Karbala
dan membunuh mayoritas
penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di
rumah, termasuk anak-anak
dan wanita. Tak lama kemudian, yaitu
tahun 1805 M/1220 H, Wahabi
merebut kota Madinah. Satu
tahun berikutnya, Wahabi
pun menguasai kota Mekah. Di
dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam
tahun setengah. Para ulama
dipaksa sumpah setia dalam
todongan senjata.
Pembantaian demi
pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan
penghancuran besar-besaran
terhadap bangunan bersejarah
dan pekuburan, pembakaran
buku-buku selain al-Qur'an
dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa
mau'idzah hasanah sebelum
khutbah Jumat, larangan
memiliki rokok dan
menghisapnya bahkan sempat
mengharamkan kopi. Tercatat dalam sejarah,
Wahabi selalu menggunakan
jalan kekerasan baik secara
doktrinal, kultural maupun
sosial. Misalnya, dalam
penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih
dari 400 ribu umat Islam telah
dibunuh dan dieksekusi secara
publik, termasuk anak-anak
dan wanita. (Hamid Algar:
Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa di
Hijaz, Wahabi menyembelih
Syaikh Abdullah Zawawi,
guru para ulama Madzhab
Syafii, meskipun umur beliau
sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Romli: Buku Pintar
Berdebat dengan Wahabi,
2010, hlm. 27). Di samping itu,
kekayaan dan para wanita di
daerah yang ditaklukkan
Wahabi, acapkali juga dibawa mereka sebagai harta
rampasan perang. Di sini, setidaknya kita melihat
dua hal tipologi Wahabi yang
senantiasa memaksakan
kehendak pemikirannya.
Pertama, ketika belum
memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan
kekerasan secara doktrinal,
intelektual dan psikologis
dengan menyerang siapapun
yang berbeda dengan mereka
sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka
memiliki kekuatan fisik dan
militer, tuduhan-tuduhan
tersebut dilanjutkan dengan
kekerasan fisik dengan cara
amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan.
Ironisnya, Wahabi ini
menyebut yang apa yang
dilakukannya sebagai
dakwah dan amar maruf nahi
mungkar yang menjadi intisari ajaran Islam. *** Membanjirnya buku-buku
Wahabi di Toko Buku
Gramedia, Toga Mas, dan
sebagainya akhir-akhir ini,
hemat saya, adalah
merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh
kaum Wahabi secara
doktrinal, intelektual dan
sekaligus psikologis terhadap
umat Islam di Indonesia.
Wahabi Indonesia yang merasa masih lemah saat ini
menilai bahwa cara efektif
yang bisa dilakukan adalah
dengan membid'ahkan,
memurtadkan,
memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang
berada di luar mereka. Jumlah
mereka yang minoritas hanya
memungkinkan mereka
untuk melakukan jalan
tersebut di tengah-tengah kran demokrasi yang dibuka
lebar-lebar untuk mereka. Saya yakin seyakin-yakinnya
jika suatu saat nanti kaum
Wahabi di negeri ini memiliki
kekuasaan yang berlebih dan
kekuatan militer di negeri ini,
mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan
pembantaian dan
pembunuhan terhadap sesama
muslim yang tidak satu
paham dengan mereka. Jika
wong NU, jam'iyyah Nahdlatul Ulama, dan ormas
lain yang satu barisan dengan
keislaman yang moderat dan
rahmatan lil alamien tidak
mampu membentenginya,
saya membayangkan Indonesia yang kelak
menjadi Arab Saudi jilid
kedua. Saya tidak dapat
membayangkan betapa
mirisnya jika para kiai dan
ulama kita kelak akan menjadi korban pembantaian
kaum Wahabi, terutama
ketika mereka sedang
berkuasa di negeri ini.
Naudzubillah wa naudzubilah
min dzalik. Wallahualam. ** * Wakil Sekretaris PCNU
Jember, Wakil Sekretaris
Yayasan Pendidikan Nahdaltul
Ulama Jember, PW Lajnah Talif
wa an-Nasyr NU Jawa Timur
dan kini menjabat sebagai Deputi Direktur Salsabila
Group.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar