Minggu, 16 Juni 2013

Ciri dan Keistimewaan Ahlus Sunnah Wal Jama`ah


CIRI DAN KEISTIMEWAAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH
1.       Keteguhan mereka dalam menetapi kebenaran, dan menolak yang sebaliknya sebagaimana yang menjadi kebiasaan Ahlu Ahwa, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“ Secara garis besar; maka Ahlul Hadits dan sunnah dalam hal memegang ketetapan dan komitmennya jauh lebih besar daripada mereka dari Ahli Kalam dan Falsafah” (Majmu’ Fatawa: 4/51).
Hal ini desebabkan oleh hasil keyakinannya tentang apa-apa yang mereka ikuti adalah kebenaran dan petunjuk, berkata Ibnu Taimiyyah:
“Maksudnya adalah bahwa pada diri orang-orang awam kaum mu’min dan para ulama mereka, mereka itu benar-benar ma’rifat terhadap (aqidah) Ahlu sunnah wal Jama’ah, meyakininya dan merasakan ketentramannya, suatu keputusan kebenaran dan perkataan yang kokoh … (Majmu’ Fatawa: 4/49).
2.      Kesepakatan mereka atas perkara-perkara aqidah, dan meniadakan perbedaan paham sekalipun berbeda-beda zaman maupun tempat. Al Ashbahani mensifati orang yang teguh memegang sunnah, ia berkata:
“ Diantara yang menunjukkan bahwa Ahlu sunnah itu sebagai Ahlul haq adalah, jika anda teliti kitab-kitab mereka yang dibukukan sejak dari perintis mereka hingga generasi terakhir mereka, baik yang lama maupun yang baru, sekalipun mereka berbeda-beda negeri dan zaman mereka, saling berjauhan rumah mereka, masing-masing menempati wilayahnya yang berbada-beda, anda jumpai mereka dalam hal menjelaskan aqidah mengikuti cara (jalan) yang satu, mereka berjalan di atas satu jalan lurus, mereka satu perkataan dalam aqidah ini, kutipan mereka satu, anda pun tidak melihat mereka berselisih paham, dan tidak bertafarruq dalam suatu perkara sekalipun sedikit, bahkan jika anda himpun seluruh yang meluncur dari lisan mereka dan yang mereka nukil dari pendahulu mereka pasti anda akan jumpai seakan-akan datang dari satu hati, dan meluncur dari lisan yang satu. Apakah terhadap kebenaran yang jelas ini masih perlu dalil yang mesti saya terangkan ?”. (Lihat Al Hujjah fi bayaan ‘l Muhajjah li qawaamis sunnah, oleh Ashbahani, tulis tangan lembaran ke 164)
3.      Keyakinan mereka yang teguh bahwa thariqah kaum salaf adalah paling selamat, paling ilmiyyah dan paling bijaksana. Tidak seperti yang didakwakan oleh Ahli Kalam bahwa thariqah salaf itu paling selamat, namun jalan merekalah yang paling ilmiyyah dan bijaksana.
 Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam membantah perkara yang dibuat-buat itu:
“Mereka itu berdusta terhadap “thariqah salaf”, dan sesat dalam membenarkan thariqah kaum khalaf, maka mereka pun memadukan antara kebodohannya terhadap thariqah salaf karena mendustakan mereka, dan kebodohan serta kesesatannya dalam membenarkan thariqah khalaf”. (Lihat Majmu’ Fatawa: 5/9).
Beliau juga berkata:
“Kemudian mereka, para Ahli Kalam yang menentang salaf jika mereka meneliti (menyatakan) kebenaran mereka, tidak didapati pada mereka hakikat ilmu tentang Allah dan ma’rifat yang murni, mereka tidak memutuskannya berdasarkan sumber dan atsar, bagaimana mungkin mereka yang lain tak lain merupakan mahjubun, mafdluuluun, manquushuun, masbuquun, dan muatahawwikun -terhijab, serba kekurangan, pengekor, dan kacau balau- itu lebih mengetahui tentang Asma dan sifat Allah, lebih bijaksana dalam hal perkara Dzat-Nya,; dan ayat-ayatNya daripada para pendahulu ummat ini, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka secara baik sebagai pewaris para nabi dan para Khalifah Rasulillah, panji-panji petunjuk dan pelita-pelita yang menyinari kegelapan, yang menegakkan Kitab dan dengannya mereka tegak, melalui merekalah Kitab dibacakan dan dengan kitab itu mereka berbicara. Allah Ta’ala telah memberikan kehebatan kepada mereka, baik dalam hal ilmu maupun hikmah, seperti dengan bekal itu pula para nabi dan para pengikut Nabi -penuh ilmu dan hikmah- apalagi terhadap ummat-ummat yang tak didatangkan Kitab atas mereka … ?
Berdiam dirinya salafush sholih dari jidal dan pembicaraan serius menyangkut banyak permasalan yang banyak terjadi di kalangan generasi meta’akhirin, bukanlah karena kebodohan dan keterbatasan (akal pikir) mereka, namun hanyalah karena mereka itu mengetahui mana-mana saja yang bermanfa’at sehingga harus digelutinya, dan mana saja yang tidak manfa’at sehingga sepatutnya untuk berpaling darinya.
Berkata Ibnu Rajab:
“Maka barangsiapa yang mengetahui kemampuan salaf ia mengetahui bahwa diam-nya mereka hingga tidak terperangkap ke dalam percekcokan dan banyak berdebat serta beselisih dan menambah-nambah keterangan sesuai kadar yang dibutuhkan, hal ini bukanlah karena mereka tak cakap akan permasalahan ini dan juga bukan karena kebodohan mereka, ataupun sempitnya akal pikir mereka. Namun semata-mata karena kewara’an dan rasa takutnya terhadap Allah Ta’ala, dan menghindarkan diri dari kesibukan-kesibukan melakukan hal yang tidak manfa’at menuju hal-hal yang membawa manfa’at” (Bayan Ilmu ‘l salaf ‘alaa ‘ilmil Khalaf, Ibnu Rajab yang ditahqiq oleh Muhammad bin Nashir Al ‘Ajamy, hal. 58, Kuwait, hal 36-38).
4.      Bahwa mereka itu adalah orang-orang yang paling mengetahui hal ihwal Nabi saw, perkataan-perkataannya maupun perbuatan-perbuatannya. Oleh karena itu mereka termasuk orang yang paling cinta akan sunnah, dan berupaya keras untuk mengikutinya, serta yang paling banyak muwalah bagi Ahlu sunnah. Berkata Ibnu Taimiyah:
            “Maka sesungguhnya, manakala (kita yakin) bahwa Rasulullah itu orang yang paling sempurna akhlaknya, yang paling mengetahui hakikat dan yang paling lurus perkataan maupun perbuatannya, patutlah kiranya menjadikan orang yang paling mengetahui persis orang yang paling mengetahui prilaku Nabi-nya dan meneladani-nya, sebagai orang-orang yang memiliki keutamaan akhlak” (Majmu’ Fatawa: 4/140-141; 4/26).
Dengan demikian, mereka itu jelas merupakan orang-orang yang paling berhak dan paling mulia dijadikan sebagai kelompok yang tertolong (Thoifah al Manshurah), Firqah an Najiyyah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Dengan inilah manjadi jelas bahwa manusia yang berhak menjadi Firqah an Najiyyah adalah Ahlul Hadits dan sunnah, yang mana mereka itu tidak memiliki seorang ikutan yang diikutinya secara fanatis, kecuali Rasulullah saw, dan mereka itu adalah manusia yang paling mengetahui perkataan-perkataannya dan paerbuatan-perbuatannya, merekalah yang paling besar perhatiannya dalam membedakan mana hadits yang shohih dan mana yang cela, Imam-imam fuqoha’ dalam hal sunnah, orang yang paling mengetahui makna-maknanya, dan mangikutinya: baik dalam hal membenarkan, perbuatan, kecintaan, dan muwalah,bagi orang yang muwalah kepada sunnah, dan mu’adah (benci dan memusuhi) kepada orang yang benci dan memusuhi sunnah (Majmu’ Fatawa: 3/347; lihat 3/159; 4/97).
5.      Diantara kekhususan mereka dan keistimewaan mereka, adalah upaya gigih mereka dalam menyebarkan aqidah yang shohih, din yang lurus yang dengannya diutuslah Rasulullah saw oleh Allah, mengajarkan manusia, membimbing mereka dan menasihati mereka, disamping melakukan bantahan kepada orang-orang yang menyalahi sunnah dan juga kepada ahli bid’ah. Di depan telah saya sebutkan tentang kesungguhan mereka di dalam pembahasan perhatian ulama terhadap aqidah salafush sholih.
6.      Sikap tengah-tengah mereka, antara firqah-firqah dan kelompok-kelompok. Berkata Ibnu Taimiyyah: “Ahlu sunnah fil Islam, seperti Ahlul Islam di tengah-tengah agama-agama lain” (Majmu’ Fatawa: 7/284; 12/455).
            Kemudian ia menjelaskan sikap menengah tersebut dalam bagian lain, dimana ia berkata: Pemahaman yang adil (tengah-tengah) dalam perkara Sifat-sifat Allah SWT, antara pemahaman Ahlu Ta’thil kalangan Jahmiyyyag dan Ahlu Tantsil Al Musyabbihah.
Mereka juga berlaku tengah-tengah dalam perkara “Ancaman Allah” antara paham Murji’ah dan Wa’idiyyah, dari Qadariyyah dan golongan (sesat) lainnya. Dalam pertakara Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah, antara paham Qadariyyah dan Jabariyyah. Dan dalam perkara Amaa’ ul Iman (nama-nama iman) dan Dien, antara Hururiyyah dan Mu’tazilah, dan antara Murji’ah dan Jahmiyyah. Dan dalam perkara yang menyangkkut “para sahabat rasulillah saw”, antara Rafidloh dan Khawarij (Lihat Majmu’ Fatawa: 3/141. Dan perhatikan syarah Thahawiyyah halaman 518-528); Wasathiyyah Ahlu sunnah bainal Firaq, ilah Dr. Muhammad Bakarim, hal. 333-399).
7.      Komitmen (iltizam) mereka dengan nama-nama dan julukan-julukan syar’iyyah. (Lihat Mauqif Ibnu Taimiyyah min ‘l Asya’iroh, Dr. Abdurahman Mahmud, 1/68).
8.     Keseriusan mereka dalam memegang Jama’ah dan persatuan serta seruan mereka atanya, menganjurkan manusia agar menetapi Jama’ah, dan membuang jauh-jauh ikhtilaf dan firqah, dan memperingatkan dengan jelas dari (terjerumus) kepada ikhtilaf dan firqah. Hal ini dapat diperhatikan tentang bagaimana mereka cintanya terhadap penamaan-penamaan mereka yang populer, yaitu “Ahlu sunnah wal Jama’ah”. Dan hal ini sebagaimana bukti-bukti adanya prinsip-prinsip ilmiyyah dan penelitian mereka, terujud pula dalam kehidupan mereka, yang benar-benar mereka laksanakan dan terjadi dalam bentuk amalan-amalan mereka (lihat contoh-contoh ini dalam Majmu’ Fatawa: 3/227).
Sumber : http://mahad-ib.blogspot.com (Ma’had Imam Bukhari Jatinangor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar