CIRI DAN KEISTIMEWAAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA`AH
1. Keteguhan
mereka dalam menetapi kebenaran, dan menolak yang sebaliknya
sebagaimana yang menjadi kebiasaan Ahlu Ahwa, berkata Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah:
“
Secara garis besar; maka Ahlul Hadits dan sunnah dalam hal memegang
ketetapan dan komitmennya jauh lebih besar daripada mereka dari Ahli
Kalam dan Falsafah” (Majmu’ Fatawa: 4/51).
Hal
ini desebabkan oleh hasil keyakinannya tentang apa-apa yang mereka
ikuti adalah kebenaran dan petunjuk, berkata Ibnu Taimiyyah:
“Maksudnya
adalah bahwa pada diri orang-orang awam kaum mu’min dan para ulama
mereka, mereka itu benar-benar ma’rifat terhadap (aqidah) Ahlu sunnah
wal Jama’ah, meyakininya dan merasakan ketentramannya, suatu keputusan
kebenaran dan perkataan yang kokoh … (Majmu’ Fatawa: 4/49).
2. Kesepakatan
mereka atas perkara-perkara aqidah, dan meniadakan perbedaan paham
sekalipun berbeda-beda zaman maupun tempat. Al Ashbahani mensifati orang
yang teguh memegang sunnah, ia berkata:
“
Diantara yang menunjukkan bahwa Ahlu sunnah itu sebagai Ahlul haq
adalah, jika anda teliti kitab-kitab mereka yang dibukukan sejak dari
perintis mereka hingga generasi terakhir mereka, baik yang lama maupun
yang baru, sekalipun mereka berbeda-beda negeri dan zaman mereka, saling
berjauhan rumah mereka, masing-masing menempati wilayahnya yang
berbada-beda, anda jumpai mereka dalam hal menjelaskan aqidah mengikuti
cara (jalan) yang satu, mereka berjalan di atas satu jalan lurus, mereka
satu perkataan dalam aqidah ini, kutipan mereka satu, anda pun tidak
melihat mereka berselisih paham, dan tidak bertafarruq dalam suatu
perkara sekalipun sedikit, bahkan jika anda himpun seluruh yang meluncur
dari lisan mereka dan yang mereka nukil dari pendahulu mereka pasti
anda akan jumpai seakan-akan datang dari satu hati, dan meluncur dari
lisan yang satu. Apakah terhadap kebenaran yang jelas ini masih perlu
dalil yang mesti saya terangkan ?”. (Lihat Al Hujjah fi bayaan ‘l Muhajjah li qawaamis sunnah, oleh Ashbahani, tulis tangan lembaran ke 164)
3. Keyakinan
mereka yang teguh bahwa thariqah kaum salaf adalah paling selamat,
paling ilmiyyah dan paling bijaksana. Tidak seperti yang didakwakan oleh
Ahli Kalam bahwa thariqah salaf itu paling selamat, namun jalan
merekalah yang paling ilmiyyah dan bijaksana.
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam membantah perkara yang dibuat-buat itu:
“Mereka
itu berdusta terhadap “thariqah salaf”, dan sesat dalam membenarkan
thariqah kaum khalaf, maka mereka pun memadukan antara kebodohannya
terhadap thariqah salaf karena mendustakan mereka, dan kebodohan serta
kesesatannya dalam membenarkan thariqah khalaf”. (Lihat Majmu’ Fatawa: 5/9).
Beliau juga berkata:
“Kemudian
mereka, para Ahli Kalam yang menentang salaf jika mereka meneliti
(menyatakan) kebenaran mereka, tidak didapati pada mereka hakikat ilmu
tentang Allah dan ma’rifat yang murni, mereka tidak memutuskannya
berdasarkan sumber dan atsar, bagaimana mungkin mereka yang lain tak
lain merupakan mahjubun, mafdluuluun, manquushuun, masbuquun, dan
muatahawwikun -terhijab, serba kekurangan, pengekor, dan kacau balau-
itu lebih mengetahui tentang Asma dan sifat Allah, lebih bijaksana dalam
hal perkara Dzat-Nya,; dan ayat-ayatNya daripada para pendahulu ummat
ini, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti
mereka secara baik sebagai pewaris para nabi dan para Khalifah
Rasulillah, panji-panji petunjuk dan pelita-pelita yang menyinari
kegelapan, yang menegakkan Kitab dan dengannya mereka tegak, melalui
merekalah Kitab dibacakan dan dengan kitab itu mereka berbicara. Allah
Ta’ala telah memberikan kehebatan kepada mereka, baik dalam hal ilmu
maupun hikmah, seperti dengan bekal itu pula para nabi dan para pengikut
Nabi -penuh ilmu dan hikmah- apalagi terhadap ummat-ummat yang tak
didatangkan Kitab atas mereka … ?
Berdiam
dirinya salafush sholih dari jidal dan pembicaraan serius menyangkut
banyak permasalan yang banyak terjadi di kalangan generasi meta’akhirin,
bukanlah karena kebodohan dan keterbatasan (akal pikir) mereka, namun
hanyalah karena mereka itu mengetahui mana-mana saja yang bermanfa’at
sehingga harus digelutinya, dan mana saja yang tidak manfa’at sehingga
sepatutnya untuk berpaling darinya.
Berkata Ibnu Rajab:
“Maka
barangsiapa yang mengetahui kemampuan salaf ia mengetahui bahwa
diam-nya mereka hingga tidak terperangkap ke dalam percekcokan dan
banyak berdebat serta beselisih dan menambah-nambah keterangan sesuai
kadar yang dibutuhkan, hal ini bukanlah karena mereka tak cakap akan
permasalahan ini dan juga bukan karena kebodohan mereka, ataupun
sempitnya akal pikir mereka. Namun semata-mata karena kewara’an dan rasa
takutnya terhadap Allah Ta’ala, dan menghindarkan diri dari
kesibukan-kesibukan melakukan hal yang tidak manfa’at menuju hal-hal
yang membawa manfa’at”
(Bayan Ilmu ‘l salaf ‘alaa ‘ilmil Khalaf, Ibnu Rajab yang ditahqiq oleh
Muhammad bin Nashir Al ‘Ajamy, hal. 58, Kuwait, hal 36-38).
4. Bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang paling mengetahui hal ihwal Nabi
saw, perkataan-perkataannya maupun perbuatan-perbuatannya. Oleh karena
itu mereka termasuk orang yang paling cinta akan sunnah, dan berupaya
keras untuk mengikutinya, serta yang paling banyak muwalah bagi Ahlu
sunnah. Berkata Ibnu Taimiyah:
“Maka sesungguhnya, manakala (kita yakin) bahwa Rasulullah itu orang
yang paling sempurna akhlaknya, yang paling mengetahui hakikat dan yang
paling lurus perkataan maupun perbuatannya, patutlah kiranya menjadikan
orang yang paling mengetahui persis orang yang paling mengetahui prilaku
Nabi-nya dan meneladani-nya, sebagai orang-orang yang memiliki
keutamaan akhlak” (Majmu’ Fatawa: 4/140-141; 4/26).
Dengan
demikian, mereka itu jelas merupakan orang-orang yang paling berhak dan
paling mulia dijadikan sebagai kelompok yang tertolong (Thoifah al
Manshurah), Firqah an Najiyyah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Dengan
inilah manjadi jelas bahwa manusia yang berhak menjadi Firqah an
Najiyyah adalah Ahlul Hadits dan sunnah, yang mana mereka itu tidak
memiliki seorang ikutan yang diikutinya secara fanatis, kecuali
Rasulullah saw, dan mereka itu adalah manusia yang paling mengetahui
perkataan-perkataannya dan paerbuatan-perbuatannya, merekalah yang
paling besar perhatiannya dalam membedakan mana hadits yang shohih dan
mana yang cela, Imam-imam fuqoha’ dalam hal sunnah, orang yang paling
mengetahui makna-maknanya, dan mangikutinya: baik dalam hal membenarkan,
perbuatan, kecintaan, dan muwalah,bagi orang yang muwalah kepada
sunnah, dan mu’adah (benci dan memusuhi) kepada orang yang benci dan
memusuhi sunnah (Majmu’ Fatawa: 3/347; lihat 3/159; 4/97).
5. Diantara
kekhususan mereka dan keistimewaan mereka, adalah upaya gigih mereka
dalam menyebarkan aqidah yang shohih, din yang lurus yang dengannya
diutuslah Rasulullah saw oleh Allah, mengajarkan manusia, membimbing
mereka dan menasihati mereka, disamping melakukan bantahan kepada
orang-orang yang menyalahi sunnah dan juga kepada ahli bid’ah. Di depan
telah saya sebutkan tentang kesungguhan mereka di dalam pembahasan
perhatian ulama terhadap aqidah salafush sholih.
6. Sikap
tengah-tengah mereka, antara firqah-firqah dan kelompok-kelompok.
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Ahlu sunnah fil Islam, seperti Ahlul Islam di
tengah-tengah agama-agama lain” (Majmu’ Fatawa: 7/284; 12/455).
Kemudian ia menjelaskan sikap menengah tersebut dalam bagian lain,
dimana ia berkata: Pemahaman yang adil (tengah-tengah) dalam perkara
Sifat-sifat Allah SWT, antara pemahaman Ahlu Ta’thil kalangan Jahmiyyyag
dan Ahlu Tantsil Al Musyabbihah.
Mereka
juga berlaku tengah-tengah dalam perkara “Ancaman Allah” antara paham
Murji’ah dan Wa’idiyyah, dari Qadariyyah dan golongan (sesat) lainnya.
Dalam pertakara Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah, antara paham
Qadariyyah dan Jabariyyah. Dan dalam perkara Amaa’ ul Iman (nama-nama
iman) dan Dien, antara Hururiyyah dan Mu’tazilah, dan antara Murji’ah
dan Jahmiyyah. Dan dalam perkara yang menyangkkut “para sahabat
rasulillah saw”, antara Rafidloh dan Khawarij (Lihat Majmu’ Fatawa:
3/141. Dan perhatikan syarah Thahawiyyah halaman 518-528); Wasathiyyah
Ahlu sunnah bainal Firaq, ilah Dr. Muhammad Bakarim, hal. 333-399).
7. Komitmen
(iltizam) mereka dengan nama-nama dan julukan-julukan syar’iyyah.
(Lihat Mauqif Ibnu Taimiyyah min ‘l Asya’iroh, Dr. Abdurahman Mahmud,
1/68).
8. Keseriusan
mereka dalam memegang Jama’ah dan persatuan serta seruan mereka atanya,
menganjurkan manusia agar menetapi Jama’ah, dan membuang jauh-jauh
ikhtilaf dan firqah, dan memperingatkan dengan jelas dari (terjerumus)
kepada ikhtilaf dan firqah. Hal ini dapat diperhatikan tentang bagaimana
mereka cintanya terhadap penamaan-penamaan mereka yang populer, yaitu
“Ahlu sunnah wal Jama’ah”. Dan hal ini sebagaimana bukti-bukti adanya
prinsip-prinsip ilmiyyah dan penelitian mereka, terujud pula dalam
kehidupan mereka, yang benar-benar mereka laksanakan dan terjadi dalam
bentuk amalan-amalan mereka (lihat contoh-contoh ini dalam Majmu’
Fatawa: 3/227).
Sumber : http://mahad-ib.blogspot.com (Ma’had Imam Bukhari Jatinangor
Sumber : http://mahad-ib.blogspot.com (Ma’had Imam Bukhari Jatinangor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar