Minggu, 16 Juni 2013

"Ruju' Ilal Haq "Yang Mana?


"Ruju' Ilal Haq "Yang Mana?
 Ada segelintir muballigh yang terpengaruh pemahaman salafi yang keliru, berkata, “LDII itu komunitasnya orang-orang ahli bid’ah”. Menurut sangkaan mereka, alasannya adalah karena apa-apa yang kita tetapi itu tidak ada di zaman Rosululloh, termasuk di antara yang mereka anggap bid’ah itu ialah kita menetapi 5 Bab, (misal; mengaji kelompok itu bid’ah, mengaji desa itu bid’ah, dan lain-lain). Sepatutnya dalam menghadapi kasus seperti ini kita hadapi dengan lapang dada dan berjiwa besar, mestinya kita malah berucap “Al-Hamdulillah”, kenapa? Karena, Alloh Ta’alaa memberi PR buat kita, yaitu kita harus bisa memberkan pemahaman yang benar kepada mereka yang belum mengetahui dengan sebenarnya tentang bid’ah menurut arti secara lughot dan bid’ah menurut definisi syar’i. Sehingga mereka tahu bahwa bid’ah yang tidak boleh diamalkan itu adalah bid’ah yang berdasarkan definisi syar’i, bukan menurut arti secara lughot. Dan mereka juga tidak memahami dengan benar, apakah LDII itu? Dan apa pula keagamaan yang diwadahi LDII? Jadi, mana yang disebut agama dan manakah yang disebut ormas “LDII”, ternyata mereka sama sekali tidak memahaminya. Misal di luar negeri, ahlul jama’ah yang menetapi Qur’an dan Hadits, ormas mereka bukanlah LDII, tapi mempunyai ormas tersendiri. Lagi pula, tidak jaminan pasti masuk surga bagi orang yang masuk LDII. Serta tidak ada jaminan masuk neraka bagi orang yang tidak mau masuk LDII. Karena, LDII adalah sebuah lembaga dakwah yang bersifat ormas sebagaimana ormas-ormas yang lain, bukan agama. Mulai sekarang, Saudara jangan lagi mengatakan, “Siapa yang ingin masuk surga silahkan masuk LDII, jika saudara tidak mau masuk LDII maka Saudara masuk neraka…!”. Dan jangan pula mengatakan, “Saudara jangan mau masuk LDII, karena LDII itu agama sesat dan menyesatkan...!”. Sadarkah bahwa sesungguhnya Saudara tidak sadar? Saudara tahu, bahwa LDII itu tidak dimuat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits? Jadi, antara LDII dan surga-neraka itu tidak ada kaitannya. Masing-masing itu, sudah ada peraturannya sendiri-sendiri. Lain halnya kalau dipaksakan, maka apa pun di dunia ini pasti saling kait mengait, ada hubungannya. Apa begitu?
Dan mereka pun tidak tahu mana ibadah mahdhoh (ibadah yang sudah baku, ibadah vertikal, spiritual. Seperti sholat, zakat, puasa, haji) dan yang ghoiru mahdhoh (ibadah sosial, horizontal, kemasyarakatan seperti praktek budi luhur di tengah masyarakat). Kalau pun mereka tahu, pasti mereka tidak memahaminya dengan benar. Inilah dampak negatif bagi muballigh yang tidak mengerti dan tidak paham istilah-istilah yang sering dipakai dalam agama Islam. Adapun penjelasan tentang sebab-sebab apa mereka keluar dari LDII. Serta kwalitas kepahaman muballigh yang seperti apa yang keluar dari LDII. Dan apa saja yang mereka anggap bid’ah di LDII. Semuanya itu secara lengkap ada di dalam buku saya yang berjudul “SALAFI BUKAN KIAMAT TAPI RAHMAT”.
Baik, kita kembali lagi ke masalah ibadah maghdhoh, ibadah mahdhoh, yaitu ibadah yang sudah baku, ibadah yang tidak boleh ditambah dan dikurangi adanya karena ibadah tersebut sudah jadi, sudah sempurna, sudah ditentukan oleh Alloh Ta’alaa segala persyaratan keabsahannya, baik itu masalah wajibnya, tertibnya, rukunnya, waktu maupun tata caranya, seperti syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah yang ghoiru maghdhoh, yaitu kebalikan dari ibadah maghdhoh, seperti menetapi 5 Bab, ibadah sosial, dan lain sebagainya. Kok, mereka bisa-bisanya menganggap mengikuti apa-apa yang diijtihadkan oleh imamul huda (imam yang mendapat petunjuk, menjauhi hawa nafsu), seperti menetapi 5 Bab itu adalah berhukum bid’ah? Dari mana coy, pemahaman hukum seperti itu?
Cobalah pahami dengan benar ungkapan berikut ini, yang dikaji Qur’an dan Hadits, yang diamalkan Qur’an dan Hadits, yang dibelani Qur’an dan Hadits, yang disambungkan juga Qur’an dan Hadits, yang dita’ati harus atas dasar Qur’an dan Hadits. Pendek kata, yang dibolak-balik oleh ahlul jama’ah melulu hanya Qur’an dan Hadits. Apakah yang dianut dan diamalkan ahlul jama’ah ini keliru? Apakah 5 Bab kunci sukses ibadah tersebut salah bila dijadikan sebagai buah ijtihad seorang Ulil Amri yang adil untuk menjadi suatu program ibadah bagi ahlul jama’ah yang ta’at kepada Alloh, Rosul dan Ulil Amri? (tak usah dijawab, camkan saja!). Bukankah, mengaji Qur’an dan Hadits itu suatu pekerjaan yang mulia? Bukankah, mengamalkan Qur’an dan Hadits itu suatu tindakan yang benar? Bukankah, membela Qur’an dan Hadits itu suatu perjuangan yang sesungguhnya? Bukankah, sambung berjama’ah secara Qur’an dan Hadit itu suatu forum komunikasi yang agung? Bukankah, ta’at kepada Alloh, Rosul, Ulil Amri itu suatu kunci sukses untuk masuk surga? Sudah pasti tidak ada yang menyangkal lagi kalau jawabnya adalah “Ya”, kecuali orang-orang yang fii quluubihim marodh. Oleh karena itu, ajakan mengaji Qur’an-Hadits, mengamalkan Qur’an-Hadits, membela Qur’an-Hadits, sambung jama’ah secara Qur’an-Hadits, tho’at kepada Alloh, Rosul, Ulil Amri cara Qur’an-Hadits, adalah ajakan yang benar, ajakan yang bernilai tinggi, ajakan yang pol, sebab isi ajakannya tidak menipu, nggak goroh, mengajak menetapi agama yang sebenar-benarnya, mengajak masuk surga agar selamat dari neraka. Sebagai barometernya adalah firman Alloh Ta’alaa, yang berbunyi:
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (-Nya), dan ulil amri darii golongan kamu sekalian. Kemudian jika kamu sekalian berlainan pendapat (berselisih paham) tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Rosul (hadits/sunnahnya), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kamu sekalian) dan lebih baik pengertiannya”.
Sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Riwayat Malik Fii Mu’atho’, bersabda:
Yang artinya: “Telah aku tinggalkan dua perkara di dalam kalangan kamu sekalian, selama kamu sekalian berpegang teguh pada keduanya maka kamu sekalian tidak akan sesat, yaitu kitab Alloh (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya (Al-Hadits)”.
Mau ngapain pindah ke pemahaman salafi yang di sana-sana? Kita sebagai muballigh harus yakin seyakin-yakinnya bahwa di LDII-lah tempatnya, kalau mau mencari pemahaman tentang salafi yang paling benar menurut dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, karena kebenaran pemahaman salafi yang diikuti oleh ahlul jama’ah di LDII itu bukan benar menurut pendapat atau perasaan Imam maupun jama’ah pengikutnya, tapi berdasarkan dalil-dalil haq firman Alloh Ta’alaa dan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Dan ini bisa diuji kebenarannya.
Salafi yang diikuti Pak Mauluddin dan sahabatnya (yang berinisial HDD, mantan Pembina muballigh daerah JS) berpendapat, bahwa infak persenan yang biasa dikerjakan ahlul jama’ah berhukum bid’ah, maksiat. Lantas, Pak Mauluddin berupaya dengan caranya untuk mengambil kembali uang-uang yang sudah ia infakkan ke sabilillah selama ia berada di dalam jama’ah. Semestinya, sebelum melakukan tindakan bodoh dan konyol itu berpikir tujuh kali! Ataukah Ia sudah lupa, bahwa ia sejak kecil hingga ia menjadi seorang muballigh telah dibesarkan diri dan namanya, dibiayai dan diberi ukhro oleh sabilillah? Coba, jika semua biaya itu ia total keseluruhan dan ia bandingkan dengan uang yang pernah ia infakkan ke sabilillah yang juga asalnya sebagian besar dari sabilillah, apakah sebanding? Ini bukti bahwa Pak Mauluddin bukanlah orang yang berpikir cerdas, dewasa! Lagunya mau menarik infak? Apa ia tidak pernah mengaji tentang orang yang meminta kembali pemberiannya itu ibarat seekor anjing yang menjilat kembali muntahannya? Apa ia tidak pernah mangqul Hadits Shohih Bukhori, bahwa bershodaqoh kepada pencuri, pelacur, anjing saja mendapat pahala dan Alloh Ta’alaa memasukkan surga kepada yang bershodaqoh? Kok seolah-olah warga jama’ah yang ikut menikmati dari uang infaknya itu lebih rendah daripada pencuri, pelacur dan anjing, dengan mengatakan “infak itu maksiat, kalau infak saya tidak saya tarik, saya berdosa besar! Hafidhz macam apa ini?

Benarkah infak persenan itu bid’ah, maksiat? Baik-lah kita uji materi, pertama yang harus kita ketahui dan pahami terlebih dahulu adalah tentang perbedaan antara infak, shodaqoh, dan zakat. Kalau yang namanya infak menurut hukum asalnya belum ada ketentuannya sama sekali berapa persen kita harus infak, maka Ulil Amri berijtihad tentang infak persenan. Sebab, bila Ulil Amri tidak berijtihad demikian akan terjadi ketidak adilan. Setiap ahlul jama’ah akan dengan suka-suka berinfak. Maka, akan terjadi ahlul jama’ah yang aghniya’ dalam ibadah tertentu dibiayai oleh ahlul jama’ah yang dhuafa’, wabil khusus bagi ahlul jama’ah yang tidak paham, yang mbules, ngajinya hanya pada waktu penyampaian hasda doang. Dia ngaji dalam satu bulan hanya satu kali, yaitu pada sa’at mendengarkan hasda. Katakanlah, umpama dia berinfak sesuka-suka dia sebesar Rp 5.000,- Nah, kalau ternyata uang infaknya itu oleh pengurus dibelikan makanan cemilan untuk penghilang ngantuk biar waktu mendengarkan hasda bisa konsentrasi, maka yang dimakan tadi jadi jigong doang. Sedangkan ahlul jama’ah dhuafa’ yang rajin, disiplin dan tertib 5 Bab-nya, terutama sambungnya. Misalnya setiap waktu sambung dia berinfak hanya Rp 1000,- Kalau dalam satu minggu ada empat kali sambung jama’ah, maka dalam satu bulan dia berinfak ke sabilillah sebesar Rp 16.000,- Berapakah selisihnya? Selisihnya adalah Rp 12.000,- Biaya tersebut untuk memberi ukhro muballigh, membayar rekening listrik, dsb. Berarti ahlul jama’ah yang aghniya’ tadi setiap kali menikmati lampu penerangan dan ilmu yang disampaikan oleh muballighnya itu dibiayai oleh ahlul jama’ah yang dhuafa’. Mestinya malu, dong! Ngaku-ngaku sebagai ahlul jama’ah tapi tidak paham. Yang lebih tidak lucu lagi, jika dia meninggal dunia eh minta diurusi dan diperlakukan dengan cara yang baik, yang benar oleh muballigh dan ahlul jama’ah. Padahal semasa hidupnya dia tidak menjadi ahlul jama’ah yang baik, dan tidak menetapi lima bab dengan benar, tidak disiplin, tidak tertib. Memalukan! Mestinya, sikap kita terdapnya waktu kita mengambil air wudhu, memandikan, mengapani, menyolati, memakamkanya pun dengan cara suka-suka kita, dong. Tapi, ya tetap tidak boleh begitu. Nabi sendiri tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan. Ya, to?
Sebagai bandingan, bahwa tidak bid’ahnya infak persenan itu sama dengan tidak bid’ahnya Ulil Amri berijtihad tentang olah raga dan pencak silat, dasarnya adalah ada sebuah ungkapan yang berbunyi:
Yang artinya: “Orang iman yang kuat itu lebih baik dan lebih disenangi Alloh ketimbang orang iman yang lemah, dan masing-masing mengandung kebaikan”.
Di dalam ungkapan di atas, Alloh Ta’alaa dan Rosululloh tidak menentukan untuk menjadi sehat dan kuat itu caranya harus bagaimana. Lalu, Ulil Amri mengambil sikap tegas melalui ijtihadnya, bahwa “Ahlul jama’ah yang berumur 35 tahun ke bawah yang sehat supaya bermain bola dan pencak silat, dan ahlul jama’ah yang lain senam, berlari-lari dan olah raga biar sehat dan kuat agar ibadahnya lancar”. Apakah ijtihad semacam ini salah, bid’ah? Tidak, kan! Oleh karena itu, saya himbau jangan sampai ada muballigh yang tidak paham dan terpengaruh pada pemahaman salafi yang salah kaprah di luar sana. Juga, jangan sampai membenci serta mengolok-olok mereka secara berlebihan, karena cara yang begitu justru malah dapat membuat ahlul jama’ah yang pintar tapi tidak paham, utamanya yang punya masalah dengan pengatur atau pengurus jama’ah makin merasa penasaran, terus ingin mencari tahu tentang seperti apa sesungguhnya mereka. Sehingga mereka terjebak pada pemahaman salafi yang salah yang tersebar dalam internet. Atau dipengaruhi oleh mantan-mantan jama’ah yang lebih dulu masuk ke salafi yang diikuti Pak Mauluddin, Cs.
Toh, yang mereka kaji di sana tidak jauh-jauh dari Al-Qur’an dan Al-Hadits; Bukhori, Muslim, Abu Daud, Nasaa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan seterusnya itu, kalau memang di sana memiliki pemahaman seperti pemahamannya ulama’ salaf yang sholih, seperti Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasaa’i, Malik, Ahmad, Hanbali, Syafi’i, Hanafi, Ibnu Taimiyah, dsb. Yang mengacu pada sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, kepada anak perempuannya yang bernama Fatimah, telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori No. Hadits: 5928, dan Imam Muslim No. Hadits: 2450. yang berbunyi:
Yang artinya: “Maka sesungguhnya sebaik-baiknya salaf adalah aku bagi kamu”.
Maka percayalah, mereka yang sekarang ini tengah terpengaruh salafi, sesungguhnya masih berada dalam keragu-raguan akan kebenarannya. Mereka itu ibarat orang berjalan yang berhenti pada persimpangan jalan namun ia tidak membawa alamat yang hendak dituju! Di antara mereka ada yang memang plin-plan, tidak berkwalitas, hanya sekedar ikut-ikutan atau bahkan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang sakit hati atas ketidak-puasan dalam penyelesaian kasus MM (Maryoso Mojo Sari alias setrum).
Perlu kita ketahui bersama, bahwa di luar sana golongan Islam yang menisbatkan kelompoknya adalah kaum salaf dengan sifat pembawaan yang berbeda-beda, sehingga kemungkinan besar ahlul jama’ah dari kalangan muballigh yang kesasar ke salafi lain, justru akan berkomentar, eh ternyata masih ada salafi lain yang lebih baik daripada salafi yang diikuti dan diyakini kebenarannya oleh Pak Mauluddin serta sahabat karibnya yang berinisial HDD itu. Dan ada lagi kasus lain, malah ada yang kesasar ke salafi lain, yaitu salafiyah, ternyata di salafiyah ini dia diajari kitab kuning. Waaah ini yang seru banget. Seru apanya? Ya, seru bodohnya! Ada juga yang sudah muter seser kayak gangsing, pkpknya asal dengar informasi ada golongan salafi, apa pun salafinya ia masuk kedalamnya, setelah puas dengan mengikuti aktivitas pengajian serta kegiatan spiritual yang dilakukan bermacam-macam salafi yang ia masuki itu, terus ia putar-balik lagi ke LDII, dan berkomentar, “Udah deh, nggak usah lagi-lagi penasaran dan mencari–cari tahu soal salafi itu apa, percaya deh sama saya, yang paling salafi ya LDII ini, sekarang saya sudah mantap di LDII. Karena, sekarang saya sudah tahu salafi mana yang salah, dan salafi seperti apa yang benar, yang harus saya tetepi selama sisa hidup saya. Pak Bandi, tahu nggak, setelah saya masuk dan keluar dari salafi satu ke salafi yang lain, sebelum saya bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa LDII itu benar, sesungguhnya ada sesuatu yang menjadikan hati dan pikiran saya semakin lebih yakin lagi mengambil kesimpulan bahwa LDII-lah salafi yang asli itu. Nah, apa sesuatu itu? Pak Bandi ingin tahu? Yaitu Buku Pak Bandi yang berjudul “SALAFI BUKAN KIAMAT TAPI RAHMAT”, yang dipinjamkan oleh seseorang kepada saya, “Al-hamdulillah banget, syukur banget saya diberi kesempatan oleh Alloh Ta’alaa membaca buku tersebut. Setelah saya rampung membacanya, hati saya berkata, “buku ini pencerah hati, hati yang sedang suram tak bercahaya, jauh dari petunjuk. Kasihan sekali teman-teman yang masih di sana, di salafi yang khoroja minal haq!”.
Dengan perasaan lega, dia ungkapkan kepada saya semua pengalamannya selama ia melanglang buana bergonta-ganti salafi. Dan berakhir pada kesimpulan bahwa keagamaan yang ada di LDII-lah, sesungguhnya pemahaman salafi yang benar itu. Untuk memperkuat keyakinan tentang kebenaran apa yang ia simpulkan itu. Lantas, apa kira-kira yang saya katakan padanya, “Tu…kan, dari dulu saya bilang apa? Salafi itu ya kita ini, apa-apa yang sudah kita tetepi ini, yang sudah kita jalani ini, Qur’an-Hadits-Jama’ah ini. Tidak ada dua. Pasti-lah setelah murni adalah campuran, setelah baik adalah buruk. Setelah benar adalah salah.
Pengakuan seseorang muballigh yang telah sadar dari kekhilafannya tersebut semakin menguatkan keyakinan saya sebelumnya, bahwa muballigh-muballigh yang terpengaruh oleh salafi yang ada di luar sana, Insya Alloh, lambat atau cepat di sana akan sampai juga pada nash-nash atau dalil-dalil yang sama seperti nash-nash atau dalil-dalil yang pernah mereka terima secara manqul dari para muballigh di LDII. Nah, pada sa’at itulah mereka akan berpikir “Ternyata apa yang disampaikan dan diamalkan orang jama’ah itu benar. Wah, kalau begitu aku balik lagi ah ke jama’ah”. Seperti dulu, LDII dikatakan sesat karena punya imam, berbai’at, celana ngatung, berjilbab, menterjemahkan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara harfiyah. Justru dengan isu sesat itulah orang-orang Islam yang cerdas merasa penasaran terus mencari tahu tentang apa sesungguhnya yang dikaji oleh warga LDII. Setelah mereka mengetahui bahwa isu negatif itu tidak benar, dan yang benar adalah apa yang dikaji dan diamalkan oleh warga LDII, akhirnya mereka insyaf masuk ke LDII dan menjadi paham. Tapi golongan yang lain, kenyataannya apa? Mereka yang dulu mengolok-olok LDII, eh sekarang malah mengklaim paling benar, mengaku salafi karena merasa lebih syar’i ketimbang yang dilakukan warga LDII. Padahal apa yang dilakukan oleh warga LDII pada waktu itu “yang mereka anggap belum syar’i” masih dalam rangka proses menuju kesempurnaan sesuai dengan syar’i. Namanya juga meramut jama’ah, sudah pasti yang diramut ialah jama’ah yang belum jadi bener. Perlu kesabaran yang optimal. Berkat meramut jama’ah ini dengan sabar, maka Alloh Ta’alaa selalu menyertai, buktinya jama’ah menang. Adapun bukti kemenangannya adalah bisa dilihat ,“dulu di mana sekarang di mana, dulu berapa sekarang berapa, dulu bagaimana sekarang bagaimana?” Apa kurang cukup bukti?
Kita semua tidak perlu kwatir secara berlebihan. Yang perlu untuk kita camkan adalah “Apa iya mereka mempunyai kitab lain selain Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai pedoman ibadahnya, tidak to!” Pasti, apapun golongan Islamnya balik-baliknya tetap ke Al-Qur’an dan Al-Hadits juga, kan. Oleh karena itu, tak usahlah keberadaan mereka itu digembar-gemborkan di kalangan kita, sebab malah bisa menjadi semacam iklan gratis yang mampu menyihir dan menyedot ahlul jama’ah yang penasaran, tapi tidak memiliki kepahaman yang kuat. Biarkan saja-lah mereka yang sudah berada di sana, kan yang mereka cari di sana hanya kesejukan, nyari betah bukan surga. Jadi, nggak usah terlalu pusing-lah memikirkan mereka. Nggak usah dibesar-besarkan. Mereka itu orang-orang dewasa. Nanti juga kalau mereka sudah bisa berpikir dewasa, bahwa betapa penting dan harusnya mencari surga, insyaa Alloh Ta’alaa pasti mereka balik lagi ke Qur’an-Hadits-Jama’ah. Sebab, hanya orang yang mempunyai pemahaman Qur’an-Hadits-Jama’ah-lah yang berani berbicara tentang surga-neraka, sampai pada memberikan jaminan surga kepada siapa-pun yang ta’at kepada Alloh Ta’alaa dan Rosul-Nya. Dan jika nanti terbukti mereka itu balik lagi ke Qur’an-Hadits-Jama’ah, tolong-tolong-tolong amal sholih jangan diledek dan jangan dipermalukan. Saya bukan mbelani mereka, juga bukan pro kepada mereka. Saya hanya bisa berhusnudhzon billaah, dan tidak boleh su’udhzon.
Mengapa saya berpikir begitu, karena mereka yang kini sedang dan tengah bergabung dengan salafi itu sudah tahu dan menyadari bahwa kita-lah sebenarnya yang lebih dulu di bumi Indonesia ini menyiarkan bahwa segala sesuatu dalam ibadah ini harus berdasarkan Qur’an-Hadits-Jama’ah, bila ingin amal ibadahnya benar dan diterima oleh Alloh dan Rosululloh. Dan bila ingin mendapatkan pemahaman yang benar seperti pemahaman yang diajarkan oleh Alloh dan Rosululloh serta Ulama’ salaf. Misal, di dalam Hadits Ibnu Majah ataupun yang lainnya ada sebuah ungkapan, yang berbunyi:
Yang artinya: “Maka, barangsiapa yang diberi hidayah/petunjuk oleh Alloh tentu tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Alloh, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk/hidayah”.
Dengan memahami yang benar ungkapan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa kalau waktu itu mereka bersama kita benar-benar karena diberi hidayah oleh Alloh Ta’alaa, maka tidak mungkin ada sesuatu yang dapat membuat mereka keluar menuju pada kesesatan. Sebab seberapapun besar dan banyaknya cobaan yang menerpa pasti Alloh Ta’alaa sendiri yang akan menolongnya. Katakanlah, jika ada satu rintangan, maka akan ada sepuluh pertolongan. Jika ada seratus rintangan, maka akan ada seribu pertolongan. Kalau ada sejuta rintangan pasti Alloh Ta’alaa akan memberikan milyaran pertolongan dan kemenangan plus surganya pun pasti. Ternyata, selama mereka berada dan bersama warga LDII sekian tahun lamanya itu bukan atas dasar mereka mendapatkan hidayah dari Alloh Ta’alaa, tapi ada kepentingan pribadi yang tersembunyi, tujuan tertentu, tidak murni karena Alloh Ta’alaa. Mereka menetapi Qur’an-Hadits-Jama’ah selama itu tidak lahir-bathin. Buktinya, kini mereka keluar dari LDII yang sejak dahulu kala telah bermanhaj salafush sholih dan berkomitmen pada pemahaman ulama’ salaf yang sebenarnya, yaitu menetapi Qur’an-Hadits-Jama’ah, dan mereka kembali pada kesesatan yang bertopengkan salafi, dengan cara mengaku “ruju’ ilal haq” (artinya kembali pada kebenaran). Jadi, menurut pendapat mereka bahwa Qur’an-Hadits-Jama’ah yang pernah mereka jalani itu adalah sesat, dan apa yang sekarang ini mereka ikuti menurut perasaan mereka adalah sesuatu yang benar. Padahal, menurut pemahaman yang benar adalah setelah yang haq sudah pasti bathil. Nah, jika benar mereka ini telah disesatkan oleh Alloh Ta’alaa, maka hanya ucapan “Na’udzu billahi mindzalik” yang bisa saya ucapkan. Sebab tidak mungkin ada yang bisa memberinya petunjuk kembali kepada mereka. Kesimpilannya adalah masalah hidayah dan kesesatan itu merupakan pekerjaan Alloh Ta’alaa, kita tak usah masuk ke pekerjaan Alloh Ta’alaa itu, capek! Kerjakan saja yang menjadi kerjaan kita, yaitu mengamalkan amalan yang ilmunya sudah kita miliki. Masih buaaaaanyak ilmu yang sudah kita miliki tapi belum kita amalkan. Sudahlah, nggak usah menjadi orang yang belagak jadi ilmuwan. Kita ini orang agamis, bukan orang politik!
Maka atas dasar itulah saya menganggap penting dan perlu menyusun buku tentang mushtholahul hadits ini. Saya sangat berharap buku ini nantinya akan menjadi acuan sekaligus prisai sebagai pelindung kepahaman yang telah ada dari pengaruh orang-orang salafi yang tidak sholih. Mengapa saya katakan tidak sholih? Karena, setelah mereka keluar dari paham Qur’an-Hadits-Jama’ah dan mengaku salafi malah mengolok-olok kita selaku ahlul jama’ah yang mempunyai pemahaman salafi yang sebenar-benarnya. Dulu, sewaktu para ulama’ dan tokoh masyarakat dari NU dan Muhammadiyah, dsb insyaf tidak pernah mengolok-olok NU dan Muhammadiyah. Karena, bagaimanapun mereka sadar bahwa NU dan Muhammadiyah pernah mendidik mereka, sedikit atau banyak pasti ada ilmu yang berguna bagi mereka. Sekalipun ilmu itu sesat. Sebab, tanpa ilmu yang mereka anggap sesat sebelumnya tak mungkin mereka akan tahu bahwa apa yang diajarkan di LDII itu barang yang haq, yang seharusnya mereka ikuti, mereka pelajari, mereka imani dan mereka amalkan, bila mereka benar-benar berniat secara lahir bathin karena Alloh Ta’alaa ingin mencari agama yang benar dan mencari surga.
[S.Baiturrahman]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar